Minggu, 29 Desember 2013

Biologi rumput laut



BIOLOGI RUMPUT LAUT


A. Sifat dan Ciri-Ciri Biologis

Berikut ini dikemukakan beberapa identitas Biologi tiap Spesies ekonomis penting dari devisi yang berbeda:

1. Algae Merah
  • Dalam reproduksinya tidak mempunyai stadia gamet berbulu cambuk
  • Reproduksi sexsual dengan Karpogonia dan Spermatia
  • Pertumbuhannya bersifat uniaksial (satu sel diujung thallus) dan multiaksial (banyak sel diujung thallus)
  • Alat pelekat terdiri dari perakaran sel tunggal atau sel banyak
  • Memiliki pigmen fikobilon yang terdiri dari fikoeretin (berwarna merah) dan fikosianin (biru)
  • Bersifat adaptasi kromatik, yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna  pada thalli seperti, merah tua, merah muda, pirang, coklat, kuning , hijau.
  • Mempunyai persedian makanan berupa kanji
  • Dalam dinding selnya terdapat sellulosa, agar carragaenan, porpiran dan fursoleran
Spesies ekonomis dari devisi ini adalah dari marga Glacilaria, Geledium, Hypnea gigartina dan Rhodymenia.

2. Alga Coklat

  • Saat bereproduksi, alga ini memiliki stadia gamet atau zoospora berulu cambuk sexsual dan asexsual.
  • Mempunyai pigmen klorofil a dan c, beta karotin, violasantin dan fukosantin.
  • Persediaan makanan (hasil fotosintesis) berupa laminaran (beta, 1-3 ikatan glukan)
  • Pada bagian dalam dinding selnya terdapat asam alginik dan alginat.
  • Mengandung pirenoid dan tilakoid (lembaran fotosintesis)
  • Ukuran dan bentuk thalli beragam dari yang berukuran kecil sabagai epifit, sampai berukuran besar, bercabang banyak, berbentuk pita atau lembaran, cabangnya ada yang sederhana dan adapula yang tidak bercabang.
  • Umunya tumbuh sebagai alga benthik
Spesies dari divisi ini adalah marga: Sargassum, Hormypesa, Turbinaria.

3. Alga Hijau

  • Reproduksi mempunyai stadia berbulu cambuk, sexsual dan asexsual
  • Mengandung khlorofil a dan b, beta, gamma karoten dan santhofil
  • Berwarna hijau
  • Persediaan makanan berupa kanji dan lemak
  • Dalam dinding selnya terdapat sellulosa. Sylan dan mannan
  • Memiliki thilakoid
  • Dalam plastida terdapat pirenoid sebagai tempat penyimpanan produksi fotosintesis.
  • Thalli satu sel, berbentuk pita, berupa membran, tabular dan kantong atau berbentuk lain.
  • Umumnya eukarotik, berinti satu atau banyak (Kunositik)
  • Bersifat bentik dan plantonik
Rumput laut yang banyak dibudidayakan adalah genus Eucheuma dan Genus Gracilaria.
Untuk memperrtahankan hidup rumput laut memerlukan:
  1. subtrat, sebagai tempat menempel agar tetap pada tempatnya
  2. sinar matahari
  3. Nutrient/unsur hara, yang diserap oleh seluruh permukaan tubuhnya dari air disekelilingnya.
  4. oksigen (O2) dan Carbon dioksida (CO2)
Perkembangan rumput laut dalam daur hidupnya dapat bersifat Vegetatif dan Generatif. Secara vegetatif dengan stek dan tunas sedangkan secara generatif dengan spora.

B. Habitat

Habitat / kondisi lingkungan yang ideal untuk perkembangbiakan Rumput Laut adalah sebagai berikut:
·         Perairan bersih dan jernih, kedalaman air 1 – 5 meter pada saat pasang tinggi (untuk Eucheuma)
·         Intensitas cahaya matahari maksimum (sampai ke dasar perairan)
·         Suhu air antara 20 18 0C dengan fluktuasi 4 0C
·         Salinitas air 28 -34 ppt (untuk Eucheuma)
·         Salinitas 18 -30 ppt untuk Gracilaria
·         Kecepatan arus air (pasang surut) antara 20 – 40 cm/dt
·         Bebas polusi dan pencemaran air

C. Pola Reproduksi

Pada tanaman rumput laut dikenal tiga macam pola reproduksi yaitu :
  1. Reproduksi generatif (seksual) dengan gamet
  2. Reproduksi vegetatif ( aseksual) dengan spora
  3. Reproduksi   fragmentasi dengan potongan thallus (stek)
Pertukaran generasi antara seksual dengan aseksual merupakan pola yang umumnya terdapat pada tanaman  rumput laut, sedangkan pembiakan secara stek biasanya banyak dilakukan dalam usaha budidaya rumput laut.

a. Reproduksi Seksual
Ada tiga tipe daur hidup dalam reproduksi seksual algae yaitu:
  • Haplobiontik, reproduksi ini banyak terdapat pada alga hijau
  • Haplobiontik diploid, reproduksi ini banyak terdapat pada alga coklat
  • Diplobiontik, tipe reproduksi ini umumnya terdapat pada alga hijau, coklat dan merah.
Untuk reproduksi diplobiontik, dalam proses pembiakanya terdapat dua individu (fase) yang terlebat dalam daur hidup yaitu gametophyte diploid yang menghasilkan gamet dan sporophyte diploid yang menghasilkan spora. Pertemuan antara 2 gamet (jantan dan betina) akan membentuk zygot yang kemudian berkembang menjadi sporofit individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui miosis dalam sporogenesis menjadi gametofit. Isomorfik dapat terjadi apabila keduanya sama secara morfologis.
Dalam hal ini gamet jantan dan betina dapat berada dalam satu individu dari satu jenis, dan hal ini disebut biseksual atau hermaprodit.

b. Reproduksi Aseksual
Pada algae, reproduksi aseksual dapat berupa suatu individu baru melalui perkembangan spora, pembelahan sel, dan fragmentasi. Pembiakan dengan spora berupa pembentukan gametofit dari tetraspora yang dihasilkan dari tetrasporofit. Tipe pembiakan ini umumnya terdapat pada alga merah. Pada alga yang bersel tunggal (Uniselluler) setiap individu mempunyai kemampuan untuk membela diri dan membentuk individu baru. Pada algae yang multiseluler (bersel banyak) seperti Gracilaria dan Eucheuma, potongan thallusnya mempunyai kemampuan berkembang meneruskan pertumbuhannya.

c. Reproduksi Fragmentasi dengan potongan Thallus
dalam usaha budidaya rumput laut, misalnya marga Gracilaria dan Eucheuma,  umumnya dilakukan dengan penyetekan sebagai bibit untuk dikembang biakkan secara produktif.

PENYEDIAAN BIBIT

Bibit dapat diperoleh dari alam maupun usaha budidaya.  Bibit yang diperoleh secara alami pada daerah di sekitar perairan tersebut merupakan indikasi baik bahwa lahan dan perairan tersebut baik untuk kegiatan budidaya
A. Seleksi Bibit
Ciri-ciri bibit yang baik adalah :
  1. Bila dipegang terasa elatis
  2. Mempunyai cabang yang banyak dengan ujungnya yang berwarna kuning kemerah-merahan.
  3. Mempunyai batang yang tebal dan berat
  4. Bebas dari tanaman lain atau benda asing

B. Penanganan Bibit
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan bibit rumput laut adalah:
  • Bila jaraknya dekat dengan lokasi pembibitan, maka bibit rumput laut dapat diangkut dengan menggunakan sampan namun harus ditutup dengan menggunakan terpal untuk menghindari sengatan panas matahari, sehingga akan lebih baik bila diangkut pada pagi atau sore hari.
  • Biarkan bibit selalu basah dengan cara menyiramnya dengan air laut.
  • Jangan biarkan bibit terkena air hujan, minyak atau bahan kimia lainnya.
  • Setelah tiba di lokasi, segera dimasukkan ke dalam kandang bibit yang telah disiapkan.
Apabila bibit diangkut dalam jarak yang cukup jauh, sebaiknya dimasukkan ke dalamk kantong plastik.
Bibit ditumpuk 3 hingga 4 lapis, dan diantara tumpukan rumput laut tersebut diberi kapas atau bahan lain yang sejenis dan dapat menyimpan air. Setelah siap, kantong plastik diikat dengan tali lalu dimasukkan ke dalam kotak karton, setiap 3 jam bibit di siram dengan air laut.

PEMBIAKAN

A. Pembiakan Secara Vegetatif

Pembiakan rumput laut secara Vegetatif merupakan cara yang paling mudah dan murah, sehingga banyak dijadikan dasar dalam pengembangan rumput laut
Pembiakan dengan vegetatif dilakukan dengan memanfaatkan setiap bagian thallus tanaman, baik berupa stek maupun tunas. Salah satu kelemahan cara ini adalah perbaikan sifat-sifat tanaman tidak dapat dilakukan, karena keseluruhan sifat tanaman (baik dan buruk) menurun pada turunannya.

B. Pembiakan Secara Generatif
Pembiakan secara generatif pada rumput laut dapat dilakukan melalui spora yang dikeluarkan oleh individu/tanaman yang sudah dewasa. Dalam perkembangannya menjadi individu baru, spora membutuhkan tempat menempel (subtrat), sehingga dalam usaha membiakkannya harus disediakan subtrat tersebut.
Metode perkembangbiakan secara generatif belum banyak dikembangkan dalam usaha budidaya gracilaria, namun demikian untuk pengembangan jenis Gelidium cara ini mungkin lebih mudah, karena ukuran thallusnya lebih kecil.Teknik pembiakan secara generatif adalah :
1.    Siapkan/ambil tanaman dewasa dari alam dan angin-anginkan selama 1-2 jam
2.    Siapkan bak / akuarium, isi dengan air laut bersih dan tambahkan subtrat ke dlam bak atau akuarium (dapat berupa kulit kerang, jaring, balok semen, dll)
3.    Ambil tanaman dewasa yang sudah diangin-anginkan tadi, kemudian celup-celupkan ke dalam air di dalam bak/akuarium tadi.
4.    Amati pertumbuhan spora pada subtrat yang ada.
5.    Apabila sudah tampak pertumbuhan spora menjadi tanaman kecil, subtrat tadi dapat dipindahkan ke lokasi budidaya

PENANAMAN BUDIDAYA

Setelah bibit disiapkan, kita ikat dengan tali rafia, dengan jarak antara tanaman 20 cm dengan berat bibit kita sesuaikan dengan metode yang akan kita gunakan. Bila menggunakan metode dasar, maka harus ditentukan jarak blok tanaman, sehingga memudahkan dalam pengawasan selama pemeliharaan, misalnya bila kita menggunakan potongan karang, maka setelah diikat dengan tali rafia, atau dengan menggunakan tali nilon kita ikatkan lagi ke batu karang ( potongan karang) dengan jarak tertentu serta sama, sehingga merip kebun di laut.
Bila kita menanam bibit  tanaman tersebut dengan menggunakan metode selain metode dasar, maka sebelum pengikatan (penanaman), kita harus menyiapkan rakit-rakit yang siap tanam dan kokoh, bila rakit tersebut telah siap, selanjutnya kita mengerjakan:
·   Mengikat 2 – 3 tangkai bibit dengan tali rafia atau tali nilon yang ukuranya kecil
·   Setiap ikatan bibit digantungkan pada rentang tali plastik berjarak 20 cm
Penanaman bibit rumput laut di tambak dilakukan dengan menggunakan metode broadcast,  dimana bibit ditebar di seluruh bagian tambak. Waktu penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari, untuk menghindari rumput laut dari sinar matahari.
   Pada penanaman pertama, bibit rumput laut harus memiliki kualitas yang sangat baik, untuk penanaman selanjutnya bibit rumput laut dapat diambil dari hasil panen. Apabila kondisi salinitas dan alam mendukung, rumput laut tadi akan tumbuh optimal dan menghasilkan spora. Spora akan tumbuh menjadi rumput laut. Selama 4 minggu pertama, bila sudah terlihat adanya rumpun yang sangat padat, maka harus dilakukan penyebaran ulang dengan cara mengangkat bongkahan rumpun tersebut dan merobek-robek kemudian  disebarkan.
Rata-rata penebaran bibit rumput laut pada awal penanaman sekitar 1-1,5 ton untuk luas areal 1 ha. Apabila pada panen pertama laju pertumbuhan perhari (DGR) tidak kurang dari 3%, atau hasil panen basah sekitar 4 kali berat bibit yang ditanam, maka pada penanaman kedua dapat ditebar dengan kepadatan menjadi 2 ton per hektar.
            Kedalaman air dalam tambak harus diatur, sehingga dapat menunjang pertumbuhan tanaman dan juga meningkatkan isi kandungan rumput laut yang ditanam. Pada 4 minggu pertama, air dalam tambak supaya dipertahankan pada ke-dalaman sekitar 30 sampai 50 cm, dengan tujuan agar pertumbuhan cabang lebih cepat. Pada minggu kelima sampai minggu keenam atau ketujuh air dipertahankan pada kedalaman sekitar 50 sampai 80 cm dengan tujuan memperlambat pertumbuhan cabang sehingga tanaman dapat meningkatkan isi kandungan.
            Pada musim kemarau suhu air di dasar tambak diusahakan supaya tidak terlalu tinggi dan apabila suhu air di atas normal maka kedalaman air di dalam tambak perlu ditambah, sehingga suhu di dasar tambak dapat dipertahankan pada kondisi normal.

4.3.      Pemupukan
            Pemupukan diperlukan pada budidaya rumput laut gracilaria untuk memepertahankan dan memacu pertumbuhannya. Pupuk diperlukan untuk mencukupi kebutuhan unsur-unsur hara seperti nitrogen, phosphat dan kalium. Penggunaan pupuk dalam budidaya ini akan tergantung kepada kesuburan lahan tambak dan kualitas nutrisi di dalam air tambak. Untuk itu dianjurkan dilakukan analisis kualitas tanah tambak dan kualitas air tambak untuk mengetahui kandungan nitrogen, phosphat dan kalium. Hasil analisa tersebut dapat digunakan untuk menetapkan jumlah pupuk yang perlu digunakan.
            Pada prinsipnya, pada empat minggu pertama, tanaman memerlukan lebih banyak nutrisi nitrogen, sedangkan dua atau tiga minggu sebelum panen tanaman memerlukan lebih banyak nutrisi phosphat. Kendala yang dihadapi dalam pemupukan adalah seringnya perggantian air di dalam tambak, karena itu pupuk dalam bentuk pelet relatif lebih efektif karena dapat melepas nutrisi secara bertahap. Apabila di dalam tambak mudah tumbuh alga hijau, maka hal ini menunjukkan bahwa kandungan nitrogennya sudah cukup. Dari hasil pengamatan maka dianjurkan bahwa pada 4 minggu pertama diperlukan sekitar 10 kg/ha pupuk yang banyak mengandung nitrogen, dan ditebar secara bertahap. Sedangkan untuk 2 sampai 3 minggu berikutnya diperlukan sekitar 5 kg/ha pupuk yang lebih banyak mengandung phosphat yang ditebar secara bertahap. Penebaran lebih tepat dilakukan pada saat setelah dilakukan penggantian air tambak.

4.4.        Pemeliharaan/Perawatan
            Pengawasan tanaman rumput laut dilakukan dengan melakukan monitoring  pada salinitas  dan  suhu air tambak. Untuk mempertahankan salinitas dan nutrisi baru, perlu dilakukan pergantian air. Penggantian air tambak dilakukan minimal dua kali seminggu. Pada musim kemarau pergantian air supaya dilakukan lebih sering untuk menghindari salinitas terlalu tinggi sebagai akibat dari penguapan air. Sedangkan pada musim hujan pergantian air harus diatur untuk menjaga salinitas dalam tambak tidak terlalu rendah. Karena itu pada saat pergantian air perlu diperhatikan salinitas air pada saluran utama. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan membersihkan tanaman yang tertimbun lumpur, membuang tanaman lain (rumput dan alga lainnya) serta kotoran lainnya dari dalam tambak supaya tidak mengganggu pertumbuhan rumput laut gracilaria. Ikan bandeng dapat membantu mengontrol ephipyt dan jenis alga hijau lainnya.
 Laju pertumbuhan yang dianggap menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat per hari. Laju pertumbuhan dihitung berdasarkan model eksponensial pertambahan berat per hari, yaitu 

PERAWATAN

Seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu.
Pada metode dasar perawatan yang dilakukan dapat dilakukan dengan cara:
  1. Menyingkirkan semua duri babi yang terdapat di sekitar ataupun pada tanaman
  2. Mengusahakan tanaman bersih dari pengaruh dasar seperti pasir maupun karang-karang kecil.
  3. Mengganti tanaman yang hilang dengan tanaman yang baru.
Sedangkan pada metode lepas dasar dan apung, pengawasan yang harus dan sebaiknya kita lakukan selama masa pemeliharaan adalah:
  1. Selalu dijaga agar tali maupun jaring tetap baik.
  2. Perbaiki jaring maupun tali yang rusak (bila putus harus disambung sehingga tidak mengganggu pertumbuhan.
  3. singkirkan semua duri atau binatang lainnya.
  4. gantilah tanaman yang hilang atau kurang sehat.
Kegiatan pengawasan dilakukan selama pemeliharaan  minimal seminggu sekali. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras. Angin serta suasana perairan yang banyak dipengaruhi kondisi musim (hujan/kemarau) perlu pengawasan 2 – 3 hari sekali.
Hal lain yang mungkin perlu dilakukan adalah apabila menghadapi serangan predator yang cukup besar dapat dikuatirkan menimbulkan kerugian, maka dapat dilakukan pemagaran dengan memakai jaring, asalkan biaya memungkinkan.

PENGEMASAN BIBIT

Setelah masa pemeliharaan kurang lebih 1 bulan bibit-bibit rumput laut yang telah berkembang dapat dilakukan pemanenan. Dalam pemanenan dapat menggunakan rakit atau sampan untuk menampung hasil panen adapun cara penangan dan pengangkutan bibit sebagai berikut:
  • Bila jaraknya dekat dengan lokasi pembibitan, maka bibit rumput laut dapat diangkut dengan menggunakan sampan namun harus ditutup dengan menggunakan terpal untuk menghindari sengatan panas matahari, sehingga akan lebih baik bila diangkut pada pagi atau sore hari.
  • Biarkan bibit selalu basah dengan cara menyiramnya dengan air laut.
  • Jangan biarkan bibit terkena air hujan, minyak atau bahan kimia lainnya.
  • Setelah tiba di lokasi, segera dimasukkan ke dalam kandang bibit yang telah disiapkan.
Apabila bibit diangkut dalam jarak yang cukup jauh, sebaiknya dimasukkan ke dalamk kantong plastik.
Bibit ditumpuk 3 hingga 4 lapis, dan diantara tumpukan rumput laut tersebut diberi kapas atau bahan lain yang sejenis dan dapat menyimpan air. Setelah siap, kantong plastik diikat dengan tali lalu dimasukkan ke dalam kotak karton, setiap 3 jam bibit di siram dengan air laut

Pemeliharaan induk kepiting

 
Persiapan bak untuk induk kepiting

Pemilihan induk


Sabtu, 14 Desember 2013

Laporan perbenihan udang windu



A.     Latar  Belakang
Sejalan dengan berkembangnya usaha budidaya udang windu di Indonesia, maka kebutuhan benur juga cenderung mengalami peningkatan. Oleh sebab itu untuk memenuhi permintaan akan benur yang berkulitas maka perlu adanya usaha yang dapat memenuhi permintaan konsumen.
Usaha perbenihan udang windu merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan benur sekaligus menjaga kelestarian benur di alam.Sehingga hadirnya usaha perbenihan (hatchery) udang ini sangat berperang dalam penyedian benur dengan kualitas yang baik dan jumlah yang memadai,serta hal tersebut sangat membantu para petani tambak atau usaha peggelondongan.
Untuk mengetahui usahaperbenihan udang windu tersebut, maka siswa SUPM NEGERI BONE perlu melakukan Praktik Kerja Lapang (PKL) pada unit-unit usaha perbenihan udang ­windu dari skala kecil (back yard) sampai skala besar (hatchery).
Udang Windu merupakan salah satu sumber devisa bagi negara dalam bidang perikanan. Hal tersebut dapat tercapai jika kebutuhan benur udang Windu bagi para pembudidaya udang selalu terpenuhi. Maka dari itu untuk memenuhi kebutuhan benur bagi pembudidaya udang khususnya udang Windu sangat dibutuhkan tenaga yang terampil dan berpengalaman serta disuplai oleh balai-balai perbenihan (Hatchery).
CV. Sarini Jaya Ujung Indah adalah salah satu Hatchery di kabupaten Barru yang telah berhasil dalam usaha perbenihan udang Windu dan telah berperan dalam penyediaan benur bagi para petani tambak didaerah Barru dan daerah lainnya.
 Atas dasar itulah penulis memilih judul “Usaha Perbenihan Udang Windu (Panaeus monodon Fabr) di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah kabupaten Barru’’.

A.   Biologi Udang Windu

1.      Taksonomi
Courtland (1999) menyatakan bahwa secara taksonomi udang windu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum                           : Arthropoda
Klas                             : Crustacea
Sub klas                      : Malacostraca
Kingdom                       : Animalia
Ordo                            : Decapoda
Super Ordo                 : Eucarida
Sub Ordo                    : Natantia
Famili                          : Penaeidae
Sub Famili                   : Penainae
Genus                         : Penaeus
Spesies                       : Penaeus monodon (Fabricius, 1798).
B.  Morfologi Udang Windu
Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (Penaeus monodon Fab.) terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada) disebut cephalathorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor di bagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, Sedangkan bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula (Suyanto dan Mujiman, 1994).
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapas) yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman, 1994). Penaeus monodon memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m²). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, Penaeus monodon tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat dari pada udang jantan (Soetomo, 2000).
Penaeus monodon memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 20 – 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah. Rasa udang dapat dipengaruhi oleh tingkat asam amino bebas yang tinggi dalam ototnya sehingga menghasilkan rasa lebih manis. Selama proses post - panen, hanya air dengan salinitas tinggi yang dipakai untuk mempertahankan rasa manis alami udang tersebut. Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Penaeus monodon akan mati jika berada dalam air dengan suhu dibawah 15oC atau diatas 33oC selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22oC dan30-33oC. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan Penaeus monodon adalah 23-30oC (Suyanto dan Mujiman, 1994). Pengaruh temperatur pada pertumbuhan udang winduspesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun.
Di bagian kepala sampai dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang berpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu rahang (maxilla), dan kaki jalan (pereiopoda). Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda). Ujung ruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus).
Alat kelamin jantan disebut petasma yang terdapat pada pangkal periopoda kelima, sedangkan alat kelamin betina disebut thelicum yang terdapat pada pangkal periopoda ketiga (Suyanto dan Mudjiman, 1994).
C. Habitat dan Penyebaran                              
Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur (Amri, 2003).
Toro dan Soegiarto (1979) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan habitat udang, hal ini ditandai oleh perpaduan antara tekstur dasar perairan hutan mangrove (berlumpur) dengan sistem perakaran vegetasi penyusun hutan mangrove, terlebih-lebih larva dan udang muda yang kondisinya masih lemah, akan berlindung dari serangan arus dan aliran air yang deras serta terhindar dari binatang pemangsa.
Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994).

D.  Makanan dan Kebiasaan Makan
Udang windu bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkunagnnya, tidak bersifat terlalu memilih-milih (Dall dalam Toro dan Soegiarto, 1979). Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa campuran diatom, zooplankton seperti balanus, veligere, copepod dan trehophora (Vilalez dalam Poernomo, 1976).
Udang windu merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Udang windu dewasa menyukai daging binatang lunak atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing polychaeta, dan crustacea. Udang windu akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan (Soetomo, 2000).
E. Reproduksi Udang Windu
Sistem reproduksi Penaeus monodon betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis dari epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina. Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan dikelilingi oleh sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material kuning telur (yolk) dari darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991).
Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma, dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama perjalanan melalui vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan melingkupinya dalam sebuah chitinous spermatophore (Wyban et al., 1991).
Dalam perkembangan dan pertumbuhannya, larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit. Secara umum pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi postlarva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak. Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu : Fase Nauplius, Zoea, Mysis dan postlarva.
Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti berikut ini :
1)     Periodenauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
2)     PeriodeZoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
3)     Periodemysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
4)     Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
5)     Periode juventil atau periode kelima. Juventil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt .
6)     Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juventil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt.


A.  Waktu dan Tempat
Pelaksanaan kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan mulai tanggal 01 Februari sampai dengan tanggal 27 Mei 2013, diunit Perbenihan udang windu (Panaeus monodon Fabr.) di Hatchery CV. Saniri Jaya yang berlokasi di:
Dusun                       : Ujung Indah
Desa                         : Palanro
Kecamatan               : Mallusetasi
Kab                           : Barru
Provinsi                     : Sulawesi selatan
B. KeadaanLokasi
Hatchery CV. Saniri Jaya dapat digambarkan sebagai berikut:
a.      Topografi
Hatchery CV. Saniri Jaya berjarak ± 20 meter dari garis pantai dengan permukaan lantai dan berstruktur kurang berpasir, disamping itu lokasi hatchery CV. Saniri Jaya juga terhindar dari erosi dan tanah longsor.
b.     Hidrologi
Jarak perusahan dengan laut yang sangat dekat dan memudahkan untuk mensuplay air laut sebagai media hidup udang. Air yang digunakan untuk perbenihan udang windu diunit usaha CV. Saniri Jaya Ujung Indah dapat dilihat pada tabel berikut:
  Tabel 2. Parameter kualitas air di Hatchery CV. Saniri Jaya
NO
Parameter
Kisaran


1
Salinitas
30-32 ppt


2
Suhu
30-32°C


3
Ph
7-8,5



c.   Vegetasi
Jenis tumbuhan yang banyak terdapat dilokasi yaitu: pohon kelapa, pohon mangga, pohon pisang, serta jenis tanaman lainnya yang keberadaannya tidak menimbulkan dampak negatif bagi usaha tersebut.
d.  Transportasi
Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua maupun roda empat, selain itu lokasinya pun dekat dengan jalan raya sehingga sarana transportasi tidak jadi masalah.
C. Kegiatan-kegiatan
1.   Persiapan
Keberhasilan suatu usaha perbenihan udang windu perlu ditunjang dengan persiapan yang matang, sehingga dalam pelaksanaan usaha tersebut dapat berjalan dengan baik, lancar, sesuai apa yang diharapkan.
Tahap ini sangat penting untuk dilaksanakan, mulai dari persiapan bak, persiapan peralatan, serta pengisian air. Hal tersebut dilakukan agar tidak muncul masalah-masalah yang tidak diinginkan pada saat produksi dilaksanakan. Adapun persiapan yang dilakukan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah yaitu sebagai berikut:
a.   Persiapan Bak dan Perlengkapan
Pada prinsipnya pencucian bak dan perlengkapan lainnya yang menunjang produksi adalah sama. Sebelum bak tersebut digunakan atau diisi air, terlebih dahulu dicuci bersih agar terhindar dari bibit penyakit yang dapat mengakibatkan organisme yang dipelihara mati. Adapun bak yang harus dicuci yaitu bak tandon, sand filter, bak pemeliharaan induk, bak peneluran/penetasan, bak pemeliharaan larva, bak tandon,dan bak alga (skeletonema costatum).
a.Pemasangan Aerasi
            Kegiatan selanjutnya adalah pemasangan aerasi. Sebelum dipasang batu aerasi dan pemberat terlebih dahulu direndam dengan menggunakan larutan formalin 250 ml, lalu dicuci bersih dan dikeringkan selama 1 hari (jika cuaca panas terik). Selang aerasi kemudian dipasang berurut untuk mempermudah pengaturan dengan jarak 45 cm.
b.  Pemasangan Terpal
Untuk menghindari kotoran dari udara jatuh kedalam bak yang dapat mengganggu perkembangan larva, maka digunakan terpal yang ukuran lebarnya sama dengan bak sedangkan ukuran panjangnya lebih besar dari bak untuk menutup bak tersebut. Selain itu, pemasangan terpal juga berfungsi agar suhu dalam bak tetap stabil.
2.   Pengadaan Air Laut
Kualitas air laut sangatlah penting bagi kehidupan larva, karena air merupakan media yang menentukan kelangsungan hidup biota yang dipelihara. Adapun sistem pengadaan air laut di CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah sebagai berikut:
a.   Persiapan Saringan
Saringan yang perlu disiapkan dalam pengadaan air laut adalah sand filter dan saringan kapas. Persiapan saringan tersebut harus betul-betul diperhatikan agar air media yang dihasilkan dapat memenuhi standar air media pembenihan udang windu.
b.  Teknik Pengadaan Air Laut
Tahap-tahap pangadaan air laut di Hatchery CV. Saniri Jaya adalah sebagai berikut:
1)  Pengisapan air laut dari kedalaman ± 6 meter menggunakan pompa melalui saringan dari ram hijau yang dipasang pada ujung pipa penghisap dengan panjang sekitar ± 2 meter dan dilanjutkan kedalam sand filter
2)            Sand filter
c. TreatmentAir
Air yang digunakan dalam usaha pembenihan udang windu adalah air yang telah disterilkan. Bak yang digunakan adalah bak yang berkapasitas 80 ton dan diisi air 79 ton. Air disterilkan dengan menggunakan kaporit  50 ppm dan diaresi minimal 4 jam. Selanjutnya dinetralkan dengan sodium thiosulfat 50% dari jumlah kaporit dan diaerasi selama 1 jam. Sebelum aerasi dimatikan terlebih dahulu diberika EDTA dengan dosis 3,1 ppm.
Fungsi heater selain sebagai pemanas air juga berfungsi untuk mempertahankan suhu air. Heater sangat berpengaruh terhadap penanganan telur, karena suhu tidak boleh kurang dari 32oC. Jika suhu air kurang dari 32oC maka telur tidak akan menetas semua, dan bahkan tidak akan menetas sama sekali.
c.      Persiapan fasilitas lainnya
1.      Sumber listrik
Listrik merupakan sumber kehidupan dalam proses budidaya, oleh sebab itu listrik harus tersedia 24 jam. Sumber listrik yang digunakan di CV. Saniri Jaya Ujung Indah ada dua yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan CV. Saniri Jaya juga mempunyai Generator set apabila sumber listrik dari PLN  mati.

2.      Peralatan lain
                        Peralatan lainnya separti mesin pompa air laut, peralatan kerja yang harus diperiksa kelanjutannnya untuk digunakan dalam proses pembenihan agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan pada saat produksi.           
3.      Pengadaan Induk
a.      Sumber Induk
Induk yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah berasal dari Aceh. Hal ini dikarenakan beberapa faktor:
·      Dapat diandalkan pruktifitasnya
·      Kualitas yang dihasilkan sangat prima
·      Ukurannya lebih besar dibandingkan induk lokal.
b.  Seleksi Induk
Untuk mendapatkan calon induk yang baik, harus dilakukan seleksi sebelum diangkut ke lokasi. Adapun persyaratan yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut:
·      Sehat dan tidak cacat
·      Kulit keras dan licin
·      Alat kelamin utuh
·      Warna tubuh cerah
·      Ukuran jantan: panjang tubuh 20 – 25 cm
·      Beratbadan: 70 – 80 gram
·      Ukuran betina: panjang tubuh: 4045 cm
·      Beratbadan: 100 – 120 gram

c.   Pengangkutan Induk
Pengangkutan induk udang Windu dilakukan dengan sistem tertutup. Pengangkutan dengan sistem tertutup dilakukan karena jarak tempuh dari sumber induk dengan lokasi pembenihan cukup jauh. Induk yang akan diangkut terlebih dahulu dipasangi pentil karet pada rostrum induk untuk menghindari kebocoran kantong pada saat pengangkutan, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik khusus yang berisi air dengan kepadatan 4–5 ekor/kantongan untuk induk betina dan 8-10 ekor/kantong untuk induk jantan, selanjutnya diberi oksigen dan diikat karet gelang. Kantongan yang berisi induk dimasukkan kedalam styrofoam. Untuk mengurangi respirasi maka diturunkan suhunya dengan memasukkan es yang telah dibungkus kertas koran dalam styrofoam agar aktivitas induk berkurang sehingga dapat menghemat energi dan oksigen yang berada di dalam kantongan.
4.   Aklimatisasi Induk
Induk yang telah tiba di lokasi pembenihan diaklimatisasi untuk menyesuaikan kondisi perairan ditempat pembenihan dengan kondisi perairan dimana induk berasal. Aklimatisasi yang dilakukan yaitu aklimatisasi salinitas dan suhu, sehingga induk tidak mengalami stres yang dapat mengakibatkan kematian oleh perubahan lingkungan secara drastis.
Untuk aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara ikatan kantongan induk udang dilepas dan air dalam bak pemeliharaan dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam kantongan. Selanjutnya induk diangkat dengan menggunakan scop net dan dipindahkan kedalam bak pemeliharan. Sebelum dimasukkan kedalam bak pemeliharaan induk terlebih dahulu didesinfektan kedalam larutan formalin sebanyak 5 ml yang dilarutkan dalam baskom yang terisi air laut dengan sistem pencelupan.
5.   Pemeliharaan Induk
a.   Persiapan Bak Induk
Bak dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan menggunakan air laut sampai bersih. Selanjutnya dilakukan pemasangan spuyer, selang aerasi dan batu aerasi.
Bak yang digunakan di hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah Kabupaten Barru berkonstruksi beton dan berbentuk persegi panjang dengan kapasitas air 20 ton. Bak tersebut diisi air dengan volume 7 ton dengan tinggi 45 cm.
b.  Penebaran
Jumlah padat tebar induk dalam bak harus optimal, karena padat tebar yang terlalu tinggi akan menghasilkan ruang gerak yang terbatas dan kualitas air yang gampang berubah sedangkan padat tebar yang terlalu sedikit akan menyebabkan pemborosan penggunaan bak. Penebaran induk di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah 80 ekor/bak. Jumlah jantan 30 ekor dan betina 50 ekor dengan perbandingan jantan dan betina 1:2.
c.   Perawatan dan Pemberian Pakan
Pemberian pakan yang penyusun lakukan di hatchery CV. Saniri Jaya  adalah sebanyak 2 kali, yaitu pukul 06.00 dan pukul 17.30 WITA. Pada saat pemberian pakan biasanya diberikan juga biovit dengan dosis 0,7 ppm untuk menambah nafsu makan pada udang. Adapun jenis pakan yang diberikan yaitu cumi-cumi dan cacing laut. Pemberian kedua pakan tersebut dilakukan secara tidak bersamaan (bergantian). Karena makanan yang cocok untuk proses produksi adalah makanan segar dan bervariasi.
 Dosis pakan yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan dan nafsu makan udang. Oleh karena itu, untuk menentukan dosis pakan yang akan diberikan harus dilakukan pengontrolan sisa pakan sebelum pemberian pakan akan dilakukan kembali. Pakan yang akan diberikan khususnya cumi-cumi sebaiknya dipotong-potong kecil-kecil dan memanjang agar pakan yang diberikan cocok dengan bukaan mulut udang.
d.  Pengontrolan Kualitas Air
Salah satu faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan perbenihan udang windu yaitu sistem pengelolaan air yang tepat. Pemberian pakan yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kualitas air. Menurunnya kualitas air di dalam bak pemeliharaan udang disebabkan oleh terakumulasinya sisa-sisa pakan maupun kotoran dari udang itu sendiri. Jika terjadi perubahan kualitas air yang mencolok dapat menyebabkan ikan stress dan mati. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengontrolan kualitas air.
 Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara pergantian air (sirkulasi). Selain itu dilakukan pembersihan sisa pakan dan kotoran udang agar tidak menimbulkan senyawa beracun. Sirkulasi dan pembersihan sisa pakan dilakukan dua kali sehari  yaitu pagi dan sore hari sebelum pemberian pakan dilakukan.
e.   Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit yang dilakukan di hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah yaitu dengan selalu menjaga kebersihan lingkungan, penerapan biosekurity serta segala sesuatu yang berkaitan dengan pemeliharaan induk udang. Pencegahan yang penyusun lakukan yaitu dengan pemberian antibiotik berupa elbazyn dengan dosis 0,5 ppm yang dilakukan 2 kali dalam satu minggu treflan dengan dosis 0,05 ppm setelah pergantian air dilakukan.
6.   Ablasi
Ablasi dilakukan setelah 2 – 4 hari pemeliharaan. Induk yang akan diablasi harus benar-benar sehat dan tidak stress, sebab induk yang kurang sehat dan stress kemungkinan besar akan mengalami kematian.
Ablasi merupakan teknik ransangan buatan untuk menghilangkan organ yang menghambat perkembangan gonad yang terdapat pada mata udang betina. Ablasi dilakukan untuk mempercepat kematangan gonad  induk udang Windu dengan cara menghilangkan salah satu mata udang, karena pada bola mata udang terdapat organ yang bernama organ “X” yang salah satu fungsinya adalah menghasilkan Gonad Inhibiting Hormon (GIH). Dalam aktifitasnya, GIH menghambat aktifitas produksi udang sehingga udang tidak dapat mengalami kematangan telur akibat terhambatnya perkembangan gonad juga tidak mau melakukan pembuahan secara tidak langsung. GIH juga menghambat aktifitas organ “Y” yang menghasilkan Gonad Stimulating Hormon (GSH)  yang terletak dibagian kepala udang. Salah satu fungsi organ Y yaitu meransang pertumbuhan sperma pada individu jantan dan telur pada individu betina.

7.   Pemijahan induk
            Perkawinan  Udang  Windu  terjadi  pada  saat  setelah  induk  betina  ganti kulit  (Moulting),  dengan  terjadinya  ganti  kulit  tersebut  menyebabkan  tubuh  udang  menjadi  lembek  dan  pada  saatitu  alat  kelamin  betina  akan  mudah  terbuka,  sehingga  memudahkan  induk  jantan  menyisipkan  spermatozoa  dan  kegiatan  ini  terjadi  pada  malam  hari.
8.   Pemeriksaan Ovari
Induk yang telah diablasi dan dipelihara selama 1 hari diperiksa tingkat kematangan gonadnya. Pemeriksaan ovari bertujuan untuk melihat induk yang telah matang gonad dan siap untuk bertelur. Pemeriksaan ovari dilakukan setiap sore hari pukul 16.30 WITA, karena pada malam hari induk udang melepaskan telurnya. tepatnya  pada  saat  kegiatan  sirkulasi  dan  seterusnya  setiap  hari. Pemeriksaan  dilakukan  satu  persatu, kematangan  gonad  pada  induk  udang  betina  dapat  dilihat  dari  perkembangan  ovarynya  yang  terletak  pada  bagian  punggung  dan  berwarna  coklat  atau  coklat  gelap  sesuai  dengan  tingkat  kematangan  gonad. Ovary  yang  matang  gonad  ditandai  dengan  warna  yang  gelap  dan  bentuknya  semakin  melebar.  Tingkat  kematangan  gonad  dapat  dibagi  atas  4  tingkatan,  untuk  lebih  jelasnya  dapat  dilihat  pada  gambar  di  bawah  ini:

TKG I                             TKG II                         TKG III                        TKG IV
Gambar 9: Tingkat Kematangan Gonad
9.   Peneluran dan Penetasan
a.   Persiapan bak peneluran/penetasan
Persiapan adalah kegiatan pembersihan atau perbaikan media yang akan digunakan, seperti pembersihan bak, selang aerasi, batu aerasi dan pipa penutup dibersihkan dengan deterjen.
Bak peneluran yang dipakai di CV. Saniri Jaya Berbentuk persegi panjang dan berkapasitas 20 ton yang diisi air 7 ton dengan ketinggian air 45 cm. Pengisian air dengan menggunakan filter bag untuk menyaring kotoran yang ikut dalam air. Selanjutnya adalah pemberian EDTA 1,4 ppm kemudian dipasangi heater untuk mencapai suhu 320C, dan diaerasi kuat. Bak tersebut juga dipasang thermometer untuk mengontrol suhu dalam air. Persiapan ini dilakukan pada pagi hari.
b.     Peneluran dan Penetasan
Setelah bak selesai dipersiapkan induk kemudian dipindahkan pada bak peneluran/penetasan. Pada umumnya induk betina melepaskan telurnya pada malam hari. Pengontrolan telur dilakukan pada pagi hari pukul 05.30 WITA.   
 Tanda-tanda peneluran yaitu:
1)  Adanya telur yang melayang dalam air media
2)  Adanya busa di permukaan air
3)  sisa jaringan yang berwarna orangeataupunkecoklatan
a)     Persiapan bak pemeliharaan larva
Bak larva yang digunakan di Hatchery CV. Saniri jaya Ujung Indah berkontruksi beton yang berkapasitas 20 ton. Sebelum nauplius ditebar telebih dahulu bak dipersiapkan.
                                                                                         
10.   Perawatan dan pemeliharaan larva
a)    Pemberian pakan
Pakan merupakan salah satu faktor penentu dalam meningkatkan hasil produksi pada unit pembenihan. Maka jenis pakan, waktu pemberian, dan dosis harus saling sesuai.
1)     Jenis Pakan
Pakan yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah ada dua jenis yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami terbagi 2 yaitu Skeletonema costatum dan Artemia salina, sedangkanpakan buatan yang diberikan berupa Javanicus0, Javanicus1, Rotemia,Rotofier, Flaks dan Moz-100 sesuai dengan stadia larva yang dipelihara.
2)      Frekuensi Pemberian Pakan
Frekuensi pemberian pakan buatan 6 kali dalam 24 jam dengan selang waktu 4 jam. Pakan buatan mulai diberikan mulai pada stadia Zoea sampai PL (panen). Sedangkan frekuensi pemberian pakan alami 3 kali dalam 24 jam dengan selang waktu 8 jam. Pada stadia Nauplis belum diberikan pakan karena dalam tubuhnya masih tersimpan persediaan makanan berupa kuning telur. Tetapi pada stadi Zoea, larva mulai membutuhkan makanan yang melayang-layang didalam air.
1)     Pemberian Pakan Alami
Pakan alami merupakan kebutuhan yang mutlak perlu pengadaannya untuk pakan larva udang. Walaupun banyak pakan yang dapat digunakan sebagai pakan larva udang, namun untuk pakan alami yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut:
·      Bentuk dan ukurannya harus sesuai dengan bukaan mulut larva
·      Kandungan gizinya tinggi
·      Cepat perkembangannya dan mudah dalam pemeliharaanya
·      Tidak mengeluarkan senyawa beracun
·      Pergerakannya tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap oleh larva
·      Tidak mencemari lingkungan
Adapun jenis pakan alami yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah:
a.      Skeletonema costatum
Jenis pakan alami yang sangat umum digunakan pada pembenihan udang windu adalah skeletonema costatum karena mudah dalam cultur dan waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Bak yang digunakan untuk cultur skeletonema costatum di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah bak yang berkapasitas 20 ton dengan bentuk persegi empat yang diisi air 18 ton dengan ketinggian air 170 cm.
b.     Artemia Salina
Artemia salina sangat potensial sebagai pakan alami post larva udang karena memiliki ukuran yang cocok untuk bukaan mulut post larva udang Windu. Pakan alami ini dapat ditetaskan dengan cara menyiapkan wadah yang berbentuk kerucut berwarna gelap tetapi pada bagian bawah (ujung kerucut tembus cahaya serta memiliki empat buah kaki penahan dengan volume bak 1 ton.
Artemia salina yang telah dipanen kemudian diberikan pada post larva udang windu dengan menggunakan gelas ukur berkapasitas 1.000 ml (1 liter) sesuai dengan dosis yang telah ditetapkan .
2)  Pemberian Pakan Buatan
Agar larva dapat berkembang dengan baik maka diberikan pula pakan buatan yang dapat meransang perkembangan dalam pertumbuhan larva. Pakan buatan diberikan pada larva dimulai pada zoea1 sampai panen. Namun yang harus diperhatikan adalah pemberian pakan yang tidak boleh berlebihan karena dapat menurunkan kualitas air yang bisa memicu timbulnya senyawa beracun didalam air. Sebaliknya jika kekurangan akan menghambat pertumbuhan larva udang karena kekurangan pakan.
d.     Pengelolaan Kualitas Air
Kualitas air merupakan hal yang sangat penting dalam  perbenihan udang windu, karena air merupakan media hidup larva dan sangat berpengaruh terhadap tingkat kehidupan larva dan post larva. Pada umumnya salah satu faktor terjadinya penurunan kualitas air disebabkan oleh sisa pakan dan kotoran udang yang nengendap di dasar bak. Sehingga perlu dilakukan pengelolaan kualitas air.
Adapun pengelolaan kualitas air yang penyusun lakukan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah:
1)  Penambahan Air
Penambahan air dilakukan pada stadia mysis1. Penambahan air dilakukan antara 5-10 cm. Penambahan air dilakukan karena tahap ini udang belum stabil untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah drastis. Penambahan air juga dilakukan ketika larva didalam bak pemeliharaan terlalu padat.
2)    Pergantian Air
Pergantian air dilakukan dengan tujuan mengeluarkan air yang telah terakumulasi oleh sisa pakan dan kotoran udang. Pada Hatchery CV. Saniri Jaya pergantian air dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WITA pada saat memasuki stadia post larva PL4/PL5
Agar larva tidak mengalami stress maka pergantian dilakukan secara bertahap dan perlahan. Untuk mendapatkan air yang bersih masuk kedalam bak, air dialirkan melewati saringan kapas. Pergantian air dilakukan antara 5 - 10 cm.
3)     Pengendalian Penyakit
Penyakit adalah salah satu kendala yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.Pada umumnya penyakit menyerang larva melalui peralatan, manusia serta air yang tidak dikelolah dengan baik. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan pencegahan. Pencegahan yang dilakukan yaitu berupa desinfeksi peralatan, persiapan bak yang baik, serta pengelolaan kualitas air yang baik.
4)    Panen dan Pemasaran
Kegiatan panen adalah tahap akhir dari kegiatan usaha pembenihan udang.
A.     Masalah
Masalah yang dihadapi perusahaan selama melakukan Praktik Kerja Lapang (PKL) yaitu:
1.    Keterbatasan air tawar akibat lokasi yang dekat dengan laut
2.    Larva mengalami kematian akibat sifat kanibalisme pada udang Windu karna pemberian pakan yang berkurang serta pemberianya yang tidak tepat waktu
3.    Skeletonema costatum susah bloming akibat musim hujan.
B.     Pemecahan
Pemecahan dari masalah yang dihadapi perusahaan selama penyusun melakukan Praktik Kerja Lapaang (PKL)  yaitu:
1.    Untuk menanggulangi keterbatasan air tawar dilakukan dengan cara pembuatan penampungan air tawar dan menampung air hujan
2.    Membagi-bagi pakan yang seharusnya diberikan pada satu bak menjadi dua bak meskipun tidak sesuai dengan dosis pemberian pakan serta pemberiannya yang tepat pada waktunya
3.    Menyesuaikan pemberian pupuk dengan cuaca matahari dan membeli Skeletonema costatum pada hatchery lain.
A.   Kesimpulan
1.   Induk merupakan rantai awal dalam melaksanakan produksi suatu pembenihan udang Windu, untuk itu penangananya harus benar-benar diperhatikan
2.   Kebersihan peralatan sangat menunjang dalam keberhasilan suatu usaha pembenihan udang Windu
3.   Penanganan yang benar, hati-hati serta konsentrasi adalah kunci dari keberhasilan suatu usaha
4.   Harus mencoba metode yang lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
5.   Sebelum melakukan kegiatan produksi perencanaan dan persiapan harus dilakukan serta dana yang menunjang kegiatan produksi harus siap.

B.   Saran
1.   Melakukan koordinasi dengan para karyawan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
2.   Pemberian pakan dan pengontrolan harus tepat waktu dan dosis tepat
3.   Sebelum terserang penyakit sebaiknya dilakukan pencegahan terlebih dahulu.
4.   Usaha yang dilakukan sebaiknya dihentikan karna jika dilanjutkan akan menyebabkan kerugian yang sangat  besar.

DAFTAR PUSTAKA

Fabricus, 2006 SNI 01-6143. Benihudangwindu (Penaeusmonodon            fabriciu, 1798)kelasbenihsebar. Jakarta. 7 hal

Toro dansoegiarto, 1979.PembenihanUdangWinduSkalaRumahTanggaSuatu        Alternatif Usaha Keluarga DiIndonesia,BalaiBudidaya Air Payau (BBAP), Jepara. 14 hal

Courtland , 1987. Petunjukteknikbagipengoprasian unit usahapembenihan udangwindu, DirektoratJendralPerikanan, 101 hal

Amri, 2003.BenihUdangWinduSkala Kecil, Dalam Seri         Penangkapan,Kanisius, Yogyakarta. 60 hal


Soetomo, M.J.A., 2000. TeknikBudidayaUdangWindu (Penaeus     monodon).Kansius.Yogyakarta.78 hal.

Anonymous, 1998.PembenihanUdangWinduSkalaRumahTanggaSuatu      Alternatif Usaha Keluarga DiIndonesia,BalaiBudidaya Air Payau (BBAP), Jepara. 14 hal

Viyalezdalampoernomo, 2003.BenihUdangWinduSkala Kecil, Dalam Seri Penangkapan,Kanisius, Yogyakarta. 60 hal

Suyantodanmujiman , 1993. PembenihanUdangWinduSkalaRumah           Tangga,Kanisius, Yogyakarta. 37 hal

Wyban et al ,  1991. PakanUdangWindu. (Penaeus  Mondon).Kanisius.      Yogyakarta. 85 hal