Selasa, 10 Desember 2013

pembenihan udang windu

A. Latar Belakang Sejalan dengan berkembangnya usaha budidaya udang windu di Indonesia, maka kebutuhan benur juga cenderung mengalami peningkatan. Oleh sebab itu untuk memenuhi permintaan akan benur yang berkulitas maka perlu adanya usaha yang dapat memenuhi permintaan konsumen. Usaha perbenihan udang windu merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan benur sekaligus menjaga kelestarian benur di alam.Sehingga hadirnya usaha perbenihan (hatchery) udang ini sangat berperang dalam penyedian benur dengan kualitas yang baik dan jumlah yang memadai,serta hal tersebut sangat membantu para petani tambak atau usaha peggelondongan. Untuk mengetahui usahaperbenihan udang windu tersebut, maka siswa SUPM NEGERI BONE perlu melakukan Praktik Kerja Lapang (PKL) pada unit-unit usaha perbenihan udang ¬windu dari skala kecil (back yard) sampai skala besar (hatchery). Udang Windu merupakan salah satu sumber devisa bagi negara dalam bidang perikanan. Hal tersebut dapat tercapai jika kebutuhan benur udang Windu bagi para pembudidaya udang selalu terpenuhi. Maka dari itu untuk memenuhi kebutuhan benur bagi pembudidaya udang khususnya udang Windu sangat dibutuhkan tenaga yang terampil dan berpengalaman serta disuplai oleh balai-balai perbenihan (Hatchery). CV. Sarini Jaya Ujung Indah adalah salah satu Hatchery di kabupaten Barru yang telah berhasil dalam usaha perbenihan udang Windu dan telah berperan dalam penyediaan benur bagi para petani tambak didaerah Barru dan daerah lainnya. Atas dasar itulah penulis memilih judul “Usaha Perbenihan Udang Windu (Panaeus monodon Fabr) di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah kabupaten Barru’’. A. Biologi Udang Windu 1. Taksonomi Courtland (1999) menyatakan bahwa secara taksonomi udang windu dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Arthropoda Klas : Crustacea Sub klas : Malacostraca Kingdom : Animalia Ordo : Decapoda Super Ordo : Eucarida Sub Ordo : Natantia Famili : Penaeidae Sub Famili : Penainae Genus : Penaeus Spesies : Penaeus monodon (Fabricius, 1798). B. Morfologi Udang Windu Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (Penaeus monodon Fab.) terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada) disebut cephalathorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor di bagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, Sedangkan bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula (Suyanto dan Mujiman, 1994). Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapas) yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman, 1994). Penaeus monodon memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m²). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, Penaeus monodon tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat dari pada udang jantan (Soetomo, 2000). Penaeus monodon memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 20 – 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah. Rasa udang dapat dipengaruhi oleh tingkat asam amino bebas yang tinggi dalam ototnya sehingga menghasilkan rasa lebih manis. Selama proses post - panen, hanya air dengan salinitas tinggi yang dipakai untuk mempertahankan rasa manis alami udang tersebut. Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Penaeus monodon akan mati jika berada dalam air dengan suhu dibawah 15oC atau diatas 33oC selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22oC dan30-33oC. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan Penaeus monodon adalah 23-30oC (Suyanto dan Mujiman, 1994). Pengaruh temperatur pada pertumbuhan udang winduspesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun. Di bagian kepala sampai dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang berpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu rahang (maxilla), dan kaki jalan (pereiopoda). Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda). Ujung ruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus). Alat kelamin jantan disebut petasma yang terdapat pada pangkal periopoda kelima, sedangkan alat kelamin betina disebut thelicum yang terdapat pada pangkal periopoda ketiga (Suyanto dan Mudjiman, 1994). C. Habitat dan Penyebaran Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur (Amri, 2003). Toro dan Soegiarto (1979) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan habitat udang, hal ini ditandai oleh perpaduan antara tekstur dasar perairan hutan mangrove (berlumpur) dengan sistem perakaran vegetasi penyusun hutan mangrove, terlebih-lebih larva dan udang muda yang kondisinya masih lemah, akan berlindung dari serangan arus dan aliran air yang deras serta terhindar dari binatang pemangsa. Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994). D. Makanan dan Kebiasaan Makan Udang windu bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkunagnnya, tidak bersifat terlalu memilih-milih (Dall dalam Toro dan Soegiarto, 1979). Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa campuran diatom, zooplankton seperti balanus, veligere, copepod dan trehophora (Vilalez dalam Poernomo, 1976). Udang windu merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Udang windu dewasa menyukai daging binatang lunak atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing polychaeta, dan crustacea. Udang windu akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan (Soetomo, 2000). E. Reproduksi Udang Windu Sistem reproduksi Penaeus monodon betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis dari epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina. Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan dikelilingi oleh sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material kuning telur (yolk) dari darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991). Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma, dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama perjalanan melalui vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan melingkupinya dalam sebuah chitinous spermatophore (Wyban et al., 1991). Dalam perkembangan dan pertumbuhannya, larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit. Secara umum pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi postlarva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak. Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu : Fase Nauplius, Zoea, Mysis dan postlarva. Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti berikut ini : 1) Periodenauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit. 2) PeriodeZoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit. 3) Periodemysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali. 4) Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt. 5) Periode juventil atau periode kelima. Juventil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt . 6) Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juventil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt. A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan mulai tanggal 01 Februari sampai dengan tanggal 27 Mei 2013, diunit Perbenihan udang windu (Panaeus monodon Fabr.) di Hatchery CV. Saniri Jaya yang berlokasi di: Dusun : Ujung Indah Desa : Palanro Kecamatan : Mallusetasi Kab : Barru Provinsi : Sulawesi selatan B. KeadaanLokasi Hatchery CV. Saniri Jaya dapat digambarkan sebagai berikut: a. Topografi Hatchery CV. Saniri Jaya berjarak ± 20 meter dari garis pantai dengan permukaan lantai dan berstruktur kurang berpasir, disamping itu lokasi hatchery CV. Saniri Jaya juga terhindar dari erosi dan tanah longsor. b. Hidrologi Jarak perusahan dengan laut yang sangat dekat dan memudahkan untuk mensuplay air laut sebagai media hidup udang. Air yang digunakan untuk perbenihan udang windu diunit usaha CV. Saniri Jaya Ujung Indah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Parameter kualitas air di Hatchery CV. Saniri Jaya NO Parameter Kisaran 1 Salinitas 30-32 ppt 2 Suhu 30-32°C 3 Ph 7-8,5 c. Vegetasi Jenis tumbuhan yang banyak terdapat dilokasi yaitu: pohon kelapa, pohon mangga, pohon pisang, serta jenis tanaman lainnya yang keberadaannya tidak menimbulkan dampak negatif bagi usaha tersebut. d. Transportasi Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua maupun roda empat, selain itu lokasinya pun dekat dengan jalan raya sehingga sarana transportasi tidak jadi masalah. C. Kegiatan-kegiatan 1. Persiapan Keberhasilan suatu usaha perbenihan udang windu perlu ditunjang dengan persiapan yang matang, sehingga dalam pelaksanaan usaha tersebut dapat berjalan dengan baik, lancar, sesuai apa yang diharapkan. Tahap ini sangat penting untuk dilaksanakan, mulai dari persiapan bak, persiapan peralatan, serta pengisian air. Hal tersebut dilakukan agar tidak muncul masalah-masalah yang tidak diinginkan pada saat produksi dilaksanakan. Adapun persiapan yang dilakukan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah yaitu sebagai berikut: a. Persiapan Bak dan Perlengkapan Pada prinsipnya pencucian bak dan perlengkapan lainnya yang menunjang produksi adalah sama. Sebelum bak tersebut digunakan atau diisi air, terlebih dahulu dicuci bersih agar terhindar dari bibit penyakit yang dapat mengakibatkan organisme yang dipelihara mati. Adapun bak yang harus dicuci yaitu bak tandon, sand filter, bak pemeliharaan induk, bak peneluran/penetasan, bak pemeliharaan larva, bak tandon,dan bak alga (skeletonema costatum). a.Pemasangan Aerasi Kegiatan selanjutnya adalah pemasangan aerasi. Sebelum dipasang batu aerasi dan pemberat terlebih dahulu direndam dengan menggunakan larutan formalin 250 ml, lalu dicuci bersih dan dikeringkan selama 1 hari (jika cuaca panas terik). Selang aerasi kemudian dipasang berurut untuk mempermudah pengaturan dengan jarak 45 cm. b. Pemasangan Terpal Untuk menghindari kotoran dari udara jatuh kedalam bak yang dapat mengganggu perkembangan larva, maka digunakan terpal yang ukuran lebarnya sama dengan bak sedangkan ukuran panjangnya lebih besar dari bak untuk menutup bak tersebut. Selain itu, pemasangan terpal juga berfungsi agar suhu dalam bak tetap stabil. 2. Pengadaan Air Laut Kualitas air laut sangatlah penting bagi kehidupan larva, karena air merupakan media yang menentukan kelangsungan hidup biota yang dipelihara. Adapun sistem pengadaan air laut di CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah sebagai berikut: a. Persiapan Saringan Saringan yang perlu disiapkan dalam pengadaan air laut adalah sand filter dan saringan kapas. Persiapan saringan tersebut harus betul-betul diperhatikan agar air media yang dihasilkan dapat memenuhi standar air media pembenihan udang windu. b. Teknik Pengadaan Air Laut Tahap-tahap pangadaan air laut di Hatchery CV. Saniri Jaya adalah sebagai berikut: 1) Pengisapan air laut dari kedalaman ± 6 meter menggunakan pompa melalui saringan dari ram hijau yang dipasang pada ujung pipa penghisap dengan panjang sekitar ± 2 meter dan dilanjutkan kedalam sand filter 2) Sand filter c. TreatmentAir Air yang digunakan dalam usaha pembenihan udang windu adalah air yang telah disterilkan. Bak yang digunakan adalah bak yang berkapasitas 80 ton dan diisi air 79 ton. Air disterilkan dengan menggunakan kaporit 50 ppm dan diaresi minimal 4 jam. Selanjutnya dinetralkan dengan sodium thiosulfat 50% dari jumlah kaporit dan diaerasi selama 1 jam. Sebelum aerasi dimatikan terlebih dahulu diberika EDTA dengan dosis 3,1 ppm. Fungsi heater selain sebagai pemanas air juga berfungsi untuk mempertahankan suhu air. Heater sangat berpengaruh terhadap penanganan telur, karena suhu tidak boleh kurang dari 32oC. Jika suhu air kurang dari 32oC maka telur tidak akan menetas semua, dan bahkan tidak akan menetas sama sekali. c. Persiapan fasilitas lainnya 1. Sumber listrik Listrik merupakan sumber kehidupan dalam proses budidaya, oleh sebab itu listrik harus tersedia 24 jam. Sumber listrik yang digunakan di CV. Saniri Jaya Ujung Indah ada dua yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan CV. Saniri Jaya juga mempunyai Generator set apabila sumber listrik dari PLN mati. 2. Peralatan lain Peralatan lainnya separti mesin pompa air laut, peralatan kerja yang harus diperiksa kelanjutannnya untuk digunakan dalam proses pembenihan agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan pada saat produksi. 3. Pengadaan Induk a. Sumber Induk Induk yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah berasal dari Aceh. Hal ini dikarenakan beberapa faktor: • Dapat diandalkan pruktifitasnya • Kualitas yang dihasilkan sangat prima • Ukurannya lebih besar dibandingkan induk lokal. b. Seleksi Induk Untuk mendapatkan calon induk yang baik, harus dilakukan seleksi sebelum diangkut ke lokasi. Adapun persyaratan yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut: • Sehat dan tidak cacat • Kulit keras dan licin • Alat kelamin utuh • Warna tubuh cerah • Ukuran jantan: panjang tubuh 20 – 25 cm • Beratbadan: 70 – 80 gram • Ukuran betina: panjang tubuh: 40 – 45 cm • Beratbadan: 100 – 120 gram c. Pengangkutan Induk Pengangkutan induk udang Windu dilakukan dengan sistem tertutup. Pengangkutan dengan sistem tertutup dilakukan karena jarak tempuh dari sumber induk dengan lokasi pembenihan cukup jauh. Induk yang akan diangkut terlebih dahulu dipasangi pentil karet pada rostrum induk untuk menghindari kebocoran kantong pada saat pengangkutan, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik khusus yang berisi air dengan kepadatan 4–5 ekor/kantongan untuk induk betina dan 8-10 ekor/kantong untuk induk jantan, selanjutnya diberi oksigen dan diikat karet gelang. Kantongan yang berisi induk dimasukkan kedalam styrofoam. Untuk mengurangi respirasi maka diturunkan suhunya dengan memasukkan es yang telah dibungkus kertas koran dalam styrofoam agar aktivitas induk berkurang sehingga dapat menghemat energi dan oksigen yang berada di dalam kantongan. 4. Aklimatisasi Induk Induk yang telah tiba di lokasi pembenihan diaklimatisasi untuk menyesuaikan kondisi perairan ditempat pembenihan dengan kondisi perairan dimana induk berasal. Aklimatisasi yang dilakukan yaitu aklimatisasi salinitas dan suhu, sehingga induk tidak mengalami stres yang dapat mengakibatkan kematian oleh perubahan lingkungan secara drastis. Untuk aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara ikatan kantongan induk udang dilepas dan air dalam bak pemeliharaan dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam kantongan. Selanjutnya induk diangkat dengan menggunakan scop net dan dipindahkan kedalam bak pemeliharan. Sebelum dimasukkan kedalam bak pemeliharaan induk terlebih dahulu didesinfektan kedalam larutan formalin sebanyak 5 ml yang dilarutkan dalam baskom yang terisi air laut dengan sistem pencelupan. 5. Pemeliharaan Induk a. Persiapan Bak Induk Bak dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan menggunakan air laut sampai bersih. Selanjutnya dilakukan pemasangan spuyer, selang aerasi dan batu aerasi. Bak yang digunakan di hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah Kabupaten Barru berkonstruksi beton dan berbentuk persegi panjang dengan kapasitas air 20 ton. Bak tersebut diisi air dengan volume 7 ton dengan tinggi 45 cm. b. Penebaran Jumlah padat tebar induk dalam bak harus optimal, karena padat tebar yang terlalu tinggi akan menghasilkan ruang gerak yang terbatas dan kualitas air yang gampang berubah sedangkan padat tebar yang terlalu sedikit akan menyebabkan pemborosan penggunaan bak. Penebaran induk di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah 80 ekor/bak. Jumlah jantan 30 ekor dan betina 50 ekor dengan perbandingan jantan dan betina 1:2. c. Perawatan dan Pemberian Pakan Pemberian pakan yang penyusun lakukan di hatchery CV. Saniri Jaya adalah sebanyak 2 kali, yaitu pukul 06.00 dan pukul 17.30 WITA. Pada saat pemberian pakan biasanya diberikan juga biovit dengan dosis 0,7 ppm untuk menambah nafsu makan pada udang. Adapun jenis pakan yang diberikan yaitu cumi-cumi dan cacing laut. Pemberian kedua pakan tersebut dilakukan secara tidak bersamaan (bergantian). Karena makanan yang cocok untuk proses produksi adalah makanan segar dan bervariasi. Dosis pakan yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan dan nafsu makan udang. Oleh karena itu, untuk menentukan dosis pakan yang akan diberikan harus dilakukan pengontrolan sisa pakan sebelum pemberian pakan akan dilakukan kembali. Pakan yang akan diberikan khususnya cumi-cumi sebaiknya dipotong-potong kecil-kecil dan memanjang agar pakan yang diberikan cocok dengan bukaan mulut udang. d. Pengontrolan Kualitas Air Salah satu faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan perbenihan udang windu yaitu sistem pengelolaan air yang tepat. Pemberian pakan yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kualitas air. Menurunnya kualitas air di dalam bak pemeliharaan udang disebabkan oleh terakumulasinya sisa-sisa pakan maupun kotoran dari udang itu sendiri. Jika terjadi perubahan kualitas air yang mencolok dapat menyebabkan ikan stress dan mati. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengontrolan kualitas air. Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara pergantian air (sirkulasi). Selain itu dilakukan pembersihan sisa pakan dan kotoran udang agar tidak menimbulkan senyawa beracun. Sirkulasi dan pembersihan sisa pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari sebelum pemberian pakan dilakukan. e. Pencegahan Penyakit Pencegahan penyakit yang dilakukan di hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah yaitu dengan selalu menjaga kebersihan lingkungan, penerapan biosekurity serta segala sesuatu yang berkaitan dengan pemeliharaan induk udang. Pencegahan yang penyusun lakukan yaitu dengan pemberian antibiotik berupa elbazyn dengan dosis 0,5 ppm yang dilakukan 2 kali dalam satu minggu treflan dengan dosis 0,05 ppm setelah pergantian air dilakukan. 6. Ablasi Ablasi dilakukan setelah 2 – 4 hari pemeliharaan. Induk yang akan diablasi harus benar-benar sehat dan tidak stress, sebab induk yang kurang sehat dan stress kemungkinan besar akan mengalami kematian. Ablasi merupakan teknik ransangan buatan untuk menghilangkan organ yang menghambat perkembangan gonad yang terdapat pada mata udang betina. Ablasi dilakukan untuk mempercepat kematangan gonad induk udang Windu dengan cara menghilangkan salah satu mata udang, karena pada bola mata udang terdapat organ yang bernama organ “X” yang salah satu fungsinya adalah menghasilkan Gonad Inhibiting Hormon (GIH). Dalam aktifitasnya, GIH menghambat aktifitas produksi udang sehingga udang tidak dapat mengalami kematangan telur akibat terhambatnya perkembangan gonad juga tidak mau melakukan pembuahan secara tidak langsung. GIH juga menghambat aktifitas organ “Y” yang menghasilkan Gonad Stimulating Hormon (GSH) yang terletak dibagian kepala udang. Salah satu fungsi organ Y yaitu meransang pertumbuhan sperma pada individu jantan dan telur pada individu betina. 7. Pemijahan induk Perkawinan Udang Windu terjadi pada saat setelah induk betina ganti kulit (Moulting), dengan terjadinya ganti kulit tersebut menyebabkan tubuh udang menjadi lembek dan pada saatitu alat kelamin betina akan mudah terbuka, sehingga memudahkan induk jantan menyisipkan spermatozoa dan kegiatan ini terjadi pada malam hari. 8. Pemeriksaan Ovari Induk yang telah diablasi dan dipelihara selama 1 hari diperiksa tingkat kematangan gonadnya. Pemeriksaan ovari bertujuan untuk melihat induk yang telah matang gonad dan siap untuk bertelur. Pemeriksaan ovari dilakukan setiap sore hari pukul 16.30 WITA, karena pada malam hari induk udang melepaskan telurnya. tepatnya pada saat kegiatan sirkulasi dan seterusnya setiap hari. Pemeriksaan dilakukan satu persatu, kematangan gonad pada induk udang betina dapat dilihat dari perkembangan ovarynya yang terletak pada bagian punggung dan berwarna coklat atau coklat gelap sesuai dengan tingkat kematangan gonad. Ovary yang matang gonad ditandai dengan warna yang gelap dan bentuknya semakin melebar. Tingkat kematangan gonad dapat dibagi atas 4 tingkatan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini: TKG I TKG II TKG III TKG IV Gambar 9: Tingkat Kematangan Gonad 9. Peneluran dan Penetasan a. Persiapan bak peneluran/penetasan Persiapan adalah kegiatan pembersihan atau perbaikan media yang akan digunakan, seperti pembersihan bak, selang aerasi, batu aerasi dan pipa penutup dibersihkan dengan deterjen. Bak peneluran yang dipakai di CV. Saniri Jaya Berbentuk persegi panjang dan berkapasitas 20 ton yang diisi air 7 ton dengan ketinggian air 45 cm. Pengisian air dengan menggunakan filter bag untuk menyaring kotoran yang ikut dalam air. Selanjutnya adalah pemberian EDTA 1,4 ppm kemudian dipasangi heater untuk mencapai suhu 320C, dan diaerasi kuat. Bak tersebut juga dipasang thermometer untuk mengontrol suhu dalam air. Persiapan ini dilakukan pada pagi hari. b. Peneluran dan Penetasan Setelah bak selesai dipersiapkan induk kemudian dipindahkan pada bak peneluran/penetasan. Pada umumnya induk betina melepaskan telurnya pada malam hari. Pengontrolan telur dilakukan pada pagi hari pukul 05.30 WITA. Tanda-tanda peneluran yaitu: 1) Adanya telur yang melayang dalam air media 2) Adanya busa di permukaan air 3) sisa jaringan yang berwarna orangeataupunkecoklatan a) Persiapan bak pemeliharaan larva Bak larva yang digunakan di Hatchery CV. Saniri jaya Ujung Indah berkontruksi beton yang berkapasitas 20 ton. Sebelum nauplius ditebar telebih dahulu bak dipersiapkan. 10. Perawatan dan pemeliharaan larva a) Pemberian pakan Pakan merupakan salah satu faktor penentu dalam meningkatkan hasil produksi pada unit pembenihan. Maka jenis pakan, waktu pemberian, dan dosis harus saling sesuai. 1) Jenis Pakan Pakan yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah ada dua jenis yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami terbagi 2 yaitu Skeletonema costatum dan Artemia salina, sedangkanpakan buatan yang diberikan berupa Javanicus0, Javanicus1, Rotemia,Rotofier, Flaks dan Moz-100 sesuai dengan stadia larva yang dipelihara. 2) Frekuensi Pemberian Pakan Frekuensi pemberian pakan buatan 6 kali dalam 24 jam dengan selang waktu 4 jam. Pakan buatan mulai diberikan mulai pada stadia Zoea sampai PL (panen). Sedangkan frekuensi pemberian pakan alami 3 kali dalam 24 jam dengan selang waktu 8 jam. Pada stadia Nauplis belum diberikan pakan karena dalam tubuhnya masih tersimpan persediaan makanan berupa kuning telur. Tetapi pada stadi Zoea, larva mulai membutuhkan makanan yang melayang-layang didalam air. 1) Pemberian Pakan Alami Pakan alami merupakan kebutuhan yang mutlak perlu pengadaannya untuk pakan larva udang. Walaupun banyak pakan yang dapat digunakan sebagai pakan larva udang, namun untuk pakan alami yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut: • Bentuk dan ukurannya harus sesuai dengan bukaan mulut larva • Kandungan gizinya tinggi • Cepat perkembangannya dan mudah dalam pemeliharaanya • Tidak mengeluarkan senyawa beracun • Pergerakannya tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap oleh larva • Tidak mencemari lingkungan Adapun jenis pakan alami yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah: a. Skeletonema costatum Jenis pakan alami yang sangat umum digunakan pada pembenihan udang windu adalah skeletonema costatum karena mudah dalam cultur dan waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Bak yang digunakan untuk cultur skeletonema costatum di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah bak yang berkapasitas 20 ton dengan bentuk persegi empat yang diisi air 18 ton dengan ketinggian air 170 cm. b. Artemia Salina Artemia salina sangat potensial sebagai pakan alami post larva udang karena memiliki ukuran yang cocok untuk bukaan mulut post larva udang Windu. Pakan alami ini dapat ditetaskan dengan cara menyiapkan wadah yang berbentuk kerucut berwarna gelap tetapi pada bagian bawah (ujung kerucut tembus cahaya serta memiliki empat buah kaki penahan dengan volume bak 1 ton. Artemia salina yang telah dipanen kemudian diberikan pada post larva udang windu dengan menggunakan gelas ukur berkapasitas 1.000 ml (1 liter) sesuai dengan dosis yang telah ditetapkan . 2) Pemberian Pakan Buatan Agar larva dapat berkembang dengan baik maka diberikan pula pakan buatan yang dapat meransang perkembangan dalam pertumbuhan larva. Pakan buatan diberikan pada larva dimulai pada zoea1 sampai panen. Namun yang harus diperhatikan adalah pemberian pakan yang tidak boleh berlebihan karena dapat menurunkan kualitas air yang bisa memicu timbulnya senyawa beracun didalam air. Sebaliknya jika kekurangan akan menghambat pertumbuhan larva udang karena kekurangan pakan. d. Pengelolaan Kualitas Air Kualitas air merupakan hal yang sangat penting dalam perbenihan udang windu, karena air merupakan media hidup larva dan sangat berpengaruh terhadap tingkat kehidupan larva dan post larva. Pada umumnya salah satu faktor terjadinya penurunan kualitas air disebabkan oleh sisa pakan dan kotoran udang yang nengendap di dasar bak. Sehingga perlu dilakukan pengelolaan kualitas air. Adapun pengelolaan kualitas air yang penyusun lakukan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah: 1) Penambahan Air Penambahan air dilakukan pada stadia mysis1. Penambahan air dilakukan antara 5-10 cm. Penambahan air dilakukan karena tahap ini udang belum stabil untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah drastis. Penambahan air juga dilakukan ketika larva didalam bak pemeliharaan terlalu padat. 2) Pergantian Air Pergantian air dilakukan dengan tujuan mengeluarkan air yang telah terakumulasi oleh sisa pakan dan kotoran udang. Pada Hatchery CV. Saniri Jaya pergantian air dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WITA pada saat memasuki stadia post larva PL4/PL5 Agar larva tidak mengalami stress maka pergantian dilakukan secara bertahap dan perlahan. Untuk mendapatkan air yang bersih masuk kedalam bak, air dialirkan melewati saringan kapas. Pergantian air dilakukan antara 5 - 10 cm. 3) Pengendalian Penyakit Penyakit adalah salah satu kendala yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.Pada umumnya penyakit menyerang larva melalui peralatan, manusia serta air yang tidak dikelolah dengan baik. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan pencegahan. Pencegahan yang dilakukan yaitu berupa desinfeksi peralatan, persiapan bak yang baik, serta pengelolaan kualitas air yang baik. 4) Panen dan Pemasaran Kegiatan panen adalah tahap akhir dari kegiatan usaha pembenihan udang. A. Masalah Masalah yang dihadapi perusahaan selama melakukan Praktik Kerja Lapang (PKL) yaitu: 1. Keterbatasan air tawar akibat lokasi yang dekat dengan laut 2. Larva mengalami kematian akibat sifat kanibalisme pada udang Windu karna pemberian pakan yang berkurang serta pemberianya yang tidak tepat waktu 3. Skeletonema costatum susah bloming akibat musim hujan. B. Pemecahan Pemecahan dari masalah yang dihadapi perusahaan selama penyusun melakukan Praktik Kerja Lapaang (PKL) yaitu: 1. Untuk menanggulangi keterbatasan air tawar dilakukan dengan cara pembuatan penampungan air tawar dan menampung air hujan 2. Membagi-bagi pakan yang seharusnya diberikan pada satu bak menjadi dua bak meskipun tidak sesuai dengan dosis pemberian pakan serta pemberiannya yang tepat pada waktunya 3. Menyesuaikan pemberian pupuk dengan cuaca matahari dan membeli Skeletonema costatum pada hatchery lain. A. Kesimpulan 1. Induk merupakan rantai awal dalam melaksanakan produksi suatu pembenihan udang Windu, untuk itu penangananya harus benar-benar diperhatikan 2. Kebersihan peralatan sangat menunjang dalam keberhasilan suatu usaha pembenihan udang Windu 3. Penanganan yang benar, hati-hati serta konsentrasi adalah kunci dari keberhasilan suatu usaha 4. Harus mencoba metode yang lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. 5. Sebelum melakukan kegiatan produksi perencanaan dan persiapan harus dilakukan serta dana yang menunjang kegiatan produksi harus siap. B. Saran 1. Melakukan koordinasi dengan para karyawan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan 2. Pemberian pakan dan pengontrolan harus tepat waktu dan dosis tepat 3. Sebelum terserang penyakit sebaiknya dilakukan pencegahan terlebih dahulu. 4. Usaha yang dilakukan sebaiknya dihentikan karna jika dilanjutkan akan menyebabkan kerugian yang sangat besar. DAFTAR PUSTAKA Fabricus, 2006 SNI 01-6143. Benihudangwindu (Penaeusmonodon fabriciu, 1798)kelasbenihsebar. Jakarta. 7 hal Toro dansoegiarto, 1979.PembenihanUdangWinduSkalaRumahTanggaSuatu Alternatif Usaha Keluarga DiIndonesia,BalaiBudidaya Air Payau (BBAP), Jepara. 14 hal Courtland , 1987. Petunjukteknikbagipengoprasian unit usahapembenihan udangwindu, DirektoratJendralPerikanan, 101 hal Amri, 2003.BenihUdangWinduSkala Kecil, Dalam Seri Penangkapan,Kanisius, Yogyakarta. 60 hal Soetomo, M.J.A., 2000. TeknikBudidayaUdangWindu (Penaeus monodon).Kansius.Yogyakarta.78 hal. Anonymous, 1998.PembenihanUdangWinduSkalaRumahTanggaSuatu Alternatif Usaha Keluarga DiIndonesia,BalaiBudidaya Air Payau (BBAP), Jepara. 14 hal Viyalezdalampoernomo, 2003.BenihUdangWinduSkala Kecil, Dalam Seri Penangkapan,Kanisius, Yogyakarta. 60 hal Suyantodanmujiman , 1993. PembenihanUdangWinduSkalaRumah Tangga,Kanisius, Yogyakarta. 37 hal Wyban et al , 1991. PakanUdangWindu. (Penaeus Mondon).Kanisius. Yogyakarta. 85 hal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar