A. Latar Belakang
Sejalan dengan berkembangnya usaha
budidaya udang windu di Indonesia, maka kebutuhan benur juga cenderung mengalami peningkatan. Oleh sebab
itu untuk memenuhi permintaan akan benur yang berkulitas maka perlu adanya
usaha yang dapat memenuhi permintaan konsumen.
Usaha
perbenihan udang
windu merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah maupun swasta
untuk memenuhi kebutuhan benur sekaligus menjaga kelestarian benur di
alam.Sehingga hadirnya
usaha perbenihan
(hatchery) udang ini sangat berperang dalam penyedian benur dengan kualitas
yang baik dan jumlah yang memadai,serta hal tersebut sangat membantu para
petani tambak atau usaha peggelondongan.
Untuk
mengetahui usahaperbenihan
udang windu tersebut, maka siswa SUPM NEGERI BONE perlu melakukan Praktik Kerja Lapang (PKL) pada unit-unit usaha perbenihan udang windu dari skala kecil
(back yard) sampai skala besar (hatchery).
Udang Windu merupakan salah satu
sumber devisa bagi negara dalam bidang perikanan. Hal tersebut dapat tercapai
jika kebutuhan benur udang Windu bagi para pembudidaya udang selalu terpenuhi.
Maka dari itu untuk memenuhi kebutuhan benur bagi pembudidaya udang khususnya
udang Windu sangat dibutuhkan tenaga yang terampil dan berpengalaman serta
disuplai oleh balai-balai perbenihan
(Hatchery).
CV. Sarini Jaya Ujung Indah adalah
salah satu Hatchery di kabupaten
Barru yang telah berhasil dalam usaha perbenihan udang Windu dan telah berperan
dalam penyediaan benur bagi para petani tambak didaerah Barru dan daerah lainnya.
Atas dasar itulah penulis memilih judul “Usaha Perbenihan Udang Windu (Panaeus monodon Fabr) di Hatchery CV.
Saniri Jaya Ujung Indah kabupaten Barru’’.
A. Biologi
Udang Windu
1. Taksonomi
Courtland
(1999) menyatakan bahwa secara taksonomi udang windu
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Klas : Crustacea
Sub klas : Malacostraca
Kingdom
: Animalia
Ordo : Decapoda
Super Ordo : Eucarida
Sub Ordo : Natantia
Famili : Penaeidae
Sub Famili : Penainae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon (Fabricius, 1798).
B. Morfologi Udang Windu
Ditinjau
dari morfologinya, tubuh udang windu (Penaeus monodon Fab.) terbagi
menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada
(kepala-dada) disebut cephalathorax dan bagian perut (abdomen)
yang terdapat ekor di bagian belakangnya. Semua bagian badan beserta
anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri
dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, Sedangkan
bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson. Tiap ruas badan mempunyai
sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula (Suyanto dan Mujiman, 1994).
Seluruh
tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang
terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapas)
yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras,
kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini
memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman, 1994). Penaeus
monodon memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang ini dapat
bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi
(100 udang/m²). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat
tersebut, Penaeus monodon tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/
minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat dari pada udang jantan (Soetomo, 2000).
Penaeus
monodon memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 20 – 40 ppt, tapi
akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah. Rasa udang dapat
dipengaruhi oleh tingkat asam amino bebas yang tinggi dalam ototnya sehingga
menghasilkan rasa lebih manis. Selama proses post - panen, hanya air dengan salinitas
tinggi yang dipakai untuk mempertahankan rasa manis alami udang tersebut.
Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Penaeus
monodon akan mati jika berada dalam air dengan suhu dibawah 15oC
atau diatas 33oC selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat
terjadi pada 15-22oC dan30-33oC. Temperatur yang cocok
bagi pertumbuhan Penaeus monodon adalah 23-30oC (Suyanto dan
Mujiman, 1994). Pengaruh temperatur pada pertumbuhan udang winduspesifitas tahap
dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur
hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan
menurun.
Di
bagian kepala sampai dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang
berpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula),
sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula),
alat-alat pembantu rahang (maxilla), dan kaki jalan (pereiopoda).
Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda). Ujung ruas
ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung
ekor terdapat lubang dubur (anus).
Alat
kelamin jantan disebut petasma yang terdapat pada pangkal periopoda kelima,
sedangkan alat kelamin betina disebut thelicum yang terdapat pada pangkal
periopoda ketiga (Suyanto dan Mudjiman, 1994).
C. Habitat dan Penyebaran
Habitat udang berbeda-beda tergantung
dari jenis dari persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya.
Udang windu bersifat euryhaline
yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang
berkadar garam rendah. Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada permukaan
dasar laut yang lumer (soft)
terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan
aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang
pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan
aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur (Amri, 2003).
Toro dan Soegiarto (1979) menyatakan
bahwa hutan mangrove merupakan habitat udang, hal ini ditandai oleh perpaduan
antara tekstur dasar perairan hutan mangrove (berlumpur) dengan sistem
perakaran vegetasi penyusun hutan mangrove, terlebih-lebih larva dan udang muda
yang kondisinya masih lemah, akan berlindung dari serangan arus dan aliran air
yang deras serta terhindar dari binatang pemangsa.
Pada
siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri
pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan
lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang
hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang
hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh jumlah
makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen
menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman,
1994).
D. Makanan dan Kebiasaan Makan
Udang windu bersifat omnivor, pemakan
detritus dan sisa-sisa organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai
sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkunagnnya,
tidak bersifat
terlalu memilih-milih (Dall dalam
Toro dan Soegiarto, 1979). Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa
campuran diatom, zooplankton seperti balanus,
veligere, copepod dan trehophora (Vilalez dalam Poernomo, 1976).
Udang
windu merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis
makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih,
makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton
dan zooplankton). Udang windu dewasa
menyukai daging binatang lunak atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing,
annelida yaitu cacing polychaeta,
dan crustacea. Udang windu akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan
(Soetomo, 2000).
E.
Reproduksi Udang Windu
Sistem
reproduksi Penaeus monodon betina
terdiri dari sepasang ovarium, oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia
diproduksi secara mitosis dari epitelium
germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina. Oogonia
mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan dikelilingi oleh sel-sel
folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material kuning telur (yolk) dari
darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991).
Organ
reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma, dan
apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi dan
bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama perjalanan melalui vas
deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan
melingkupinya dalam sebuah chitinous
spermatophore (Wyban et al., 1991).
Dalam
perkembangan dan pertumbuhannya, larva udang windu mengalami beberapa perubahan
bentuk dan pergantian kulit. Secara umum pergantian kulit larva dimulai dari
menetas sampai menjadi postlarva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak. Ada
empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu : Fase Nauplius, Zoea,
Mysis dan postlarva.
Setelah
telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali
seperti berikut ini :
1) Periodenauplius
atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan
larva mengalami enam kali pergantian kulit.
2) PeriodeZoea
atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar96-120 jam dan pada
saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
3) Periodemysis
atau periode ketiga. Periode
ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak
tiga kali.
4) Periode
post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-stadium post
larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai
perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
5) Periode
juventil
atau periode kelima. Juventil
merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt .
6)
Periode udang dewasa. Periode ini
berlangsung setelah periode juventil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin
dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan
pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt.
A.
Waktu dan Tempat
Pelaksanaan kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan
mulai tanggal 01 Februari sampai dengan tanggal 27 Mei 2013, diunit Perbenihan udang windu (Panaeus monodon Fabr.) di Hatchery CV. Saniri Jaya yang berlokasi
di:
Dusun
: Ujung Indah
Desa
: Palanro
Kecamatan : Mallusetasi
Kab
: Barru
Provinsi : Sulawesi selatan
B.
KeadaanLokasi
Hatchery CV. Saniri Jaya dapat
digambarkan sebagai berikut:
a.
Topografi
Hatchery CV. Saniri Jaya berjarak ± 20
meter dari garis pantai dengan permukaan lantai dan berstruktur kurang
berpasir, disamping itu lokasi hatchery CV. Saniri Jaya juga terhindar dari erosi
dan tanah longsor.
b. Hidrologi
Jarak perusahan dengan laut yang
sangat dekat dan memudahkan untuk mensuplay air laut sebagai media hidup udang.
Air yang digunakan untuk perbenihan
udang windu diunit usaha CV. Saniri Jaya Ujung Indah dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2. Parameter kualitas air di Hatchery CV. Saniri Jaya
NO
|
Parameter
|
Kisaran
|
|
1
|
Salinitas
|
30-32 ppt
|
|
2
|
Suhu
|
30-32°C
|
|
3
|
Ph
|
7-8,5
|
|
c.
Vegetasi
Jenis tumbuhan yang banyak terdapat
dilokasi yaitu: pohon kelapa, pohon mangga, pohon pisang, serta jenis tanaman
lainnya yang keberadaannya tidak menimbulkan dampak negatif bagi usaha
tersebut.
d.
Transportasi
Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah
dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua maupun roda empat, selain itu lokasinya
pun dekat dengan jalan raya sehingga sarana transportasi tidak jadi masalah.
C. Kegiatan-kegiatan
1. Persiapan
Keberhasilan
suatu usaha perbenihan
udang windu perlu ditunjang dengan persiapan yang matang, sehingga dalam
pelaksanaan usaha tersebut dapat berjalan dengan baik, lancar, sesuai apa yang diharapkan.
Tahap
ini sangat penting untuk dilaksanakan, mulai dari persiapan bak, persiapan
peralatan, serta pengisian air. Hal tersebut dilakukan agar tidak muncul
masalah-masalah yang tidak diinginkan pada saat produksi dilaksanakan. Adapun
persiapan yang dilakukan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah yaitu sebagai
berikut:
a. Persiapan
Bak
dan Perlengkapan
Pada prinsipnya pencucian bak dan
perlengkapan lainnya yang menunjang produksi adalah sama. Sebelum bak tersebut
digunakan atau diisi air, terlebih dahulu dicuci bersih agar terhindar dari
bibit penyakit yang dapat mengakibatkan organisme yang dipelihara mati. Adapun
bak yang harus dicuci yaitu bak tandon, sand
filter, bak pemeliharaan induk, bak peneluran/penetasan, bak pemeliharaan
larva, bak tandon,dan bak alga (skeletonema
costatum).
a.Pemasangan Aerasi
Kegiatan selanjutnya adalah pemasangan aerasi. Sebelum
dipasang batu aerasi dan pemberat terlebih dahulu direndam dengan menggunakan
larutan formalin 250 ml, lalu dicuci
bersih dan dikeringkan selama 1 hari (jika cuaca panas terik). Selang aerasi
kemudian dipasang berurut untuk mempermudah pengaturan dengan jarak 45 cm.
b. Pemasangan
Terpal
Untuk
menghindari kotoran dari udara jatuh kedalam bak yang dapat mengganggu perkembangan
larva, maka digunakan terpal yang ukuran lebarnya sama dengan bak sedangkan
ukuran panjangnya lebih besar dari bak untuk menutup bak tersebut. Selain itu,
pemasangan terpal juga berfungsi agar suhu dalam bak tetap stabil.
2. Pengadaan
Air
Laut
Kualitas air
laut sangatlah penting bagi kehidupan larva, karena air merupakan media yang
menentukan kelangsungan hidup biota yang dipelihara. Adapun sistem pengadaan
air laut di CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah sebagai berikut:
a. Persiapan
Saringan
Saringan yang
perlu disiapkan dalam pengadaan air laut adalah sand filter dan saringan kapas. Persiapan saringan tersebut harus
betul-betul diperhatikan agar air media yang dihasilkan dapat memenuhi standar
air media pembenihan udang windu.
b. Teknik
Pengadaan
Air
Laut
Tahap-tahap
pangadaan air laut di Hatchery CV. Saniri Jaya adalah sebagai berikut:
1) Pengisapan air laut dari kedalaman ± 6
meter menggunakan pompa melalui saringan dari ram hijau yang dipasang pada
ujung pipa penghisap dengan panjang sekitar ± 2 meter dan dilanjutkan kedalam sand filter
2)
Sand filter
c. TreatmentAir
Air
yang digunakan dalam usaha pembenihan udang windu adalah air yang telah
disterilkan. Bak yang digunakan adalah bak yang berkapasitas 80 ton dan diisi
air 79 ton. Air disterilkan dengan menggunakan kaporit 50 ppm dan diaresi
minimal 4 jam. Selanjutnya dinetralkan dengan sodium thiosulfat 50% dari jumlah kaporit dan diaerasi selama 1
jam. Sebelum aerasi dimatikan terlebih dahulu diberika EDTA dengan dosis 3,1
ppm.
Fungsi
heater selain sebagai pemanas air
juga berfungsi untuk mempertahankan suhu air. Heater sangat berpengaruh terhadap penanganan telur, karena suhu
tidak boleh kurang dari 32oC. Jika suhu air kurang dari 32oC
maka telur tidak akan menetas semua, dan bahkan tidak akan menetas sama sekali.
c. Persiapan
fasilitas lainnya
1.
Sumber
listrik
Listrik
merupakan sumber kehidupan dalam proses budidaya, oleh sebab itu listrik harus
tersedia 24 jam. Sumber listrik yang digunakan di CV. Saniri Jaya Ujung Indah
ada dua yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan CV. Saniri Jaya juga
mempunyai Generator set apabila
sumber listrik dari PLN mati.
2.
Peralatan
lain
Peralatan lainnya separti mesin pompa
air laut, peralatan kerja yang harus diperiksa kelanjutannnya untuk digunakan
dalam proses pembenihan agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan pada
saat produksi.
3. Pengadaan
Induk
a. Sumber
Induk
Induk
yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah berasal dari Aceh. Hal
ini dikarenakan beberapa faktor:
·
Dapat
diandalkan pruktifitasnya
·
Kualitas
yang dihasilkan sangat prima
·
Ukurannya
lebih besar dibandingkan induk lokal.
b. Seleksi
Induk
Untuk
mendapatkan calon induk yang baik, harus dilakukan seleksi sebelum diangkut ke
lokasi. Adapun persyaratan yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut:
·
Sehat
dan tidak cacat
·
Kulit
keras dan licin
·
Alat
kelamin utuh
·
Warna
tubuh cerah
·
Ukuran
jantan: panjang tubuh 20
– 25 cm
·
Beratbadan: 70 – 80 gram
·
Ukuran
betina: panjang tubuh: 40
– 45 cm
·
Beratbadan: 100 – 120 gram
c. Pengangkutan Induk
Pengangkutan
induk udang Windu dilakukan dengan sistem tertutup. Pengangkutan dengan sistem
tertutup dilakukan karena jarak tempuh dari sumber induk dengan lokasi
pembenihan cukup jauh. Induk yang akan diangkut terlebih dahulu dipasangi
pentil karet pada rostrum induk untuk menghindari kebocoran kantong pada saat
pengangkutan,
kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik khusus yang berisi air dengan
kepadatan 4–5 ekor/kantongan untuk induk betina dan 8-10 ekor/kantong untuk
induk jantan, selanjutnya diberi oksigen dan diikat karet gelang. Kantongan
yang berisi induk dimasukkan kedalam styrofoam.
Untuk mengurangi respirasi maka diturunkan suhunya dengan memasukkan es yang
telah dibungkus kertas koran dalam styrofoam
agar aktivitas induk berkurang sehingga dapat menghemat energi dan oksigen yang
berada di dalam kantongan.
4. Aklimatisasi
Induk
Induk
yang telah tiba di lokasi pembenihan diaklimatisasi untuk menyesuaikan kondisi
perairan ditempat pembenihan dengan kondisi perairan dimana induk berasal.
Aklimatisasi yang dilakukan yaitu aklimatisasi salinitas dan suhu, sehingga
induk tidak mengalami stres yang dapat mengakibatkan kematian oleh perubahan
lingkungan secara drastis.
Untuk
aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara ikatan kantongan induk udang
dilepas dan air dalam bak pemeliharaan dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam
kantongan. Selanjutnya induk diangkat dengan menggunakan scop net dan dipindahkan kedalam bak pemeliharan. Sebelum
dimasukkan kedalam bak pemeliharaan induk terlebih dahulu didesinfektan kedalam larutan formalin
sebanyak 5 ml yang dilarutkan dalam baskom yang terisi air laut dengan sistem
pencelupan.
5. Pemeliharaan
Induk
a. Persiapan
Bak
Induk
Bak dicuci dengan deterjen dan dibilas
dengan menggunakan air laut sampai bersih. Selanjutnya dilakukan pemasangan
spuyer, selang aerasi dan batu aerasi.
Bak
yang digunakan di hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah Kabupaten Barru berkonstruksi beton dan berbentuk persegi
panjang dengan kapasitas air 20 ton. Bak tersebut diisi air dengan volume 7 ton
dengan tinggi 45 cm.
b. Penebaran
Jumlah
padat tebar induk dalam bak harus optimal, karena padat tebar yang terlalu
tinggi akan menghasilkan ruang gerak yang terbatas dan kualitas air yang
gampang berubah sedangkan padat tebar yang terlalu sedikit akan menyebabkan
pemborosan penggunaan bak. Penebaran induk di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung
Indah 80 ekor/bak. Jumlah jantan 30 ekor dan betina 50 ekor dengan perbandingan
jantan dan betina 1:2.
c. Perawatan
dan Pemberian
Pakan
Pemberian
pakan yang penyusun lakukan di hatchery CV. Saniri Jaya adalah sebanyak 2 kali, yaitu pukul 06.00 dan
pukul 17.30 WITA.
Pada saat pemberian pakan biasanya diberikan juga biovit dengan dosis 0,7 ppm
untuk menambah nafsu makan pada udang. Adapun jenis pakan yang diberikan yaitu
cumi-cumi dan cacing laut. Pemberian kedua pakan tersebut dilakukan secara
tidak bersamaan (bergantian). Karena makanan yang cocok untuk proses produksi
adalah makanan segar dan bervariasi.
Dosis pakan yang diberikan disesuaikan dengan
kemampuan dan nafsu makan udang. Oleh karena itu, untuk menentukan dosis pakan
yang akan diberikan harus dilakukan pengontrolan sisa pakan sebelum pemberian
pakan akan dilakukan kembali. Pakan yang akan diberikan khususnya cumi-cumi
sebaiknya dipotong-potong kecil-kecil dan memanjang agar pakan yang diberikan cocok
dengan bukaan mulut udang.
d. Pengontrolan
Kualitas
Air
Salah
satu faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan perbenihan udang windu yaitu sistem
pengelolaan air yang tepat. Pemberian pakan yang berlebihan dapat mengakibatkan
penurunan kualitas air. Menurunnya kualitas air di dalam bak pemeliharaan udang
disebabkan oleh terakumulasinya sisa-sisa pakan maupun kotoran dari udang itu
sendiri. Jika terjadi perubahan kualitas air yang mencolok dapat menyebabkan
ikan stress dan mati. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengontrolan kualitas air.
Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara
pergantian air (sirkulasi). Selain
itu dilakukan pembersihan sisa pakan dan kotoran udang agar tidak menimbulkan
senyawa beracun. Sirkulasi dan
pembersihan sisa pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari sebelum pemberian
pakan dilakukan.
e. Pencegahan
Penyakit
Pencegahan
penyakit yang dilakukan di hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah yaitu dengan
selalu menjaga kebersihan lingkungan, penerapan biosekurity serta segala
sesuatu yang berkaitan dengan pemeliharaan induk udang. Pencegahan yang
penyusun lakukan yaitu dengan pemberian antibiotik berupa elbazyn dengan dosis
0,5 ppm yang dilakukan 2 kali dalam satu minggu treflan dengan dosis 0,05 ppm
setelah pergantian air dilakukan.
6. Ablasi
Ablasi
dilakukan setelah 2 – 4 hari pemeliharaan. Induk yang akan diablasi harus
benar-benar sehat dan tidak stress, sebab induk yang kurang sehat dan stress
kemungkinan besar akan mengalami kematian.
Ablasi
merupakan teknik ransangan buatan untuk menghilangkan organ yang menghambat
perkembangan gonad yang terdapat pada mata udang betina. Ablasi dilakukan untuk
mempercepat kematangan gonad induk udang
Windu dengan cara menghilangkan salah satu mata udang, karena pada bola mata
udang terdapat organ yang bernama organ “X” yang salah satu fungsinya adalah
menghasilkan Gonad Inhibiting Hormon (GIH).
Dalam aktifitasnya, GIH menghambat aktifitas produksi udang sehingga udang
tidak dapat mengalami kematangan telur akibat terhambatnya perkembangan gonad
juga tidak mau melakukan pembuahan secara tidak langsung. GIH juga menghambat
aktifitas organ “Y” yang menghasilkan Gonad
Stimulating Hormon (GSH) yang
terletak dibagian kepala udang. Salah satu fungsi organ Y yaitu meransang
pertumbuhan sperma pada individu jantan dan telur pada individu betina.
7. Pemijahan
induk
Perkawinan Udang
Windu terjadi pada
saat setelah induk
betina ganti kulit (Moulting), dengan
terjadinya ganti kulit
tersebut menyebabkan tubuh
udang menjadi lembek
dan pada saatitu
alat kelamin betina
akan mudah terbuka,
sehingga memudahkan induk
jantan menyisipkan spermatozoa dan
kegiatan ini terjadi
pada malam hari.
8. Pemeriksaan
Ovari
Induk
yang telah diablasi dan dipelihara selama 1 hari diperiksa tingkat kematangan
gonadnya. Pemeriksaan ovari bertujuan untuk melihat induk yang telah matang
gonad dan siap untuk
bertelur. Pemeriksaan ovari dilakukan setiap sore hari pukul 16.30 WITA, karena pada malam hari induk udang
melepaskan telurnya. tepatnya pada saat
kegiatan sirkulasi dan
seterusnya setiap hari. Pemeriksaan dilakukan
satu persatu, kematangan gonad pada
induk udang betina
dapat dilihat dari
perkembangan ovarynya yang terletak
pada bagian punggung
dan berwarna coklat
atau coklat gelap
sesuai dengan tingkat
kematangan gonad. Ovary yang
matang gonad ditandai dengan
warna yang gelap
dan bentuknya semakin
melebar. Tingkat kematangan
gonad dapat
dibagi atas 4
tingkatan, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat
pada gambar
di bawah ini:
TKG I TKG II TKG
III TKG IV
Gambar 9: Tingkat Kematangan Gonad
9. Peneluran
dan Penetasan
a. Persiapan
bak peneluran/penetasan
Persiapan adalah kegiatan pembersihan
atau perbaikan media yang akan digunakan, seperti pembersihan bak, selang
aerasi, batu aerasi dan pipa penutup dibersihkan dengan deterjen.
Bak
peneluran yang dipakai di CV. Saniri Jaya Berbentuk persegi panjang dan berkapasitas 20
ton yang diisi air 7 ton dengan ketinggian air 45 cm. Pengisian air dengan
menggunakan filter bag untuk
menyaring kotoran yang ikut dalam air. Selanjutnya adalah pemberian EDTA 1,4
ppm kemudian dipasangi heater untuk
mencapai suhu 320C, dan diaerasi kuat. Bak tersebut juga dipasang
thermometer untuk mengontrol suhu dalam air. Persiapan ini dilakukan pada pagi
hari.
b. Peneluran
dan Penetasan
Setelah bak selesai dipersiapkan
induk kemudian dipindahkan pada bak peneluran/penetasan. Pada umumnya induk
betina melepaskan telurnya pada malam hari. Pengontrolan telur dilakukan pada
pagi hari pukul 05.30 WITA.
Tanda-tanda peneluran yaitu:
1) Adanya
telur yang melayang dalam air media
2) Adanya
busa di permukaan air
3) sisa
jaringan yang berwarna orangeataupunkecoklatan
a) Persiapan
bak pemeliharaan larva
Bak
larva yang digunakan di Hatchery CV. Saniri jaya Ujung Indah berkontruksi beton
yang berkapasitas 20 ton. Sebelum nauplius ditebar telebih dahulu bak
dipersiapkan.
10. Perawatan
dan pemeliharaan larva
a) Pemberian
pakan
Pakan merupakan salah satu faktor
penentu dalam meningkatkan hasil produksi pada unit pembenihan. Maka jenis
pakan, waktu pemberian, dan dosis harus saling sesuai.
1) Jenis
Pakan
Pakan
yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah ada dua jenis yaitu
pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami terbagi 2 yaitu Skeletonema costatum dan Artemia
salina, sedangkanpakan buatan yang diberikan berupa Javanicus0, Javanicus1,
Rotemia,Rotofier, Flaks dan Moz-100 sesuai dengan stadia larva yang dipelihara.
2) Frekuensi
Pemberian
Pakan
Frekuensi
pemberian pakan buatan 6
kali dalam 24 jam dengan selang waktu 4 jam. Pakan buatan mulai diberikan mulai pada stadia Zoea
sampai PL (panen). Sedangkan frekuensi pemberian pakan alami 3 kali dalam 24
jam dengan selang waktu 8
jam. Pada stadia Nauplis belum diberikan pakan karena dalam tubuhnya masih
tersimpan persediaan makanan berupa kuning telur. Tetapi pada stadi Zoea, larva
mulai membutuhkan makanan yang melayang-layang didalam air.
1) Pemberian
Pakan
Alami
Pakan
alami merupakan kebutuhan yang mutlak perlu pengadaannya untuk pakan larva
udang. Walaupun banyak pakan yang dapat digunakan sebagai pakan larva udang,
namun untuk pakan alami yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut:
·
Bentuk
dan ukurannya harus sesuai dengan bukaan mulut larva
·
Cepat
perkembangannya dan mudah dalam pemeliharaanya
·
Tidak
mengeluarkan senyawa beracun
·
Pergerakannya
tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap oleh larva
·
Tidak
mencemari lingkungan
Adapun
jenis pakan alami yang digunakan di Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah
adalah:
a.
Skeletonema costatum
Jenis
pakan alami yang sangat umum digunakan pada pembenihan udang windu adalah skeletonema costatum karena mudah dalam
cultur dan waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Bak yang digunakan untuk
cultur skeletonema costatum di
Hatchery CV. Saniri Jaya Ujung Indah adalah bak yang berkapasitas 20 ton dengan
bentuk persegi empat yang diisi air 18 ton dengan ketinggian air 170 cm.
b. Artemia
Salina
Artemia salina sangat potensial sebagai pakan alami post larva udang
karena memiliki ukuran yang cocok untuk bukaan mulut post larva udang Windu.
Pakan alami ini dapat ditetaskan
dengan cara menyiapkan wadah yang berbentuk kerucut berwarna gelap tetapi pada
bagian bawah (ujung kerucut tembus cahaya serta memiliki empat buah kaki
penahan dengan volume bak 1 ton.
Artemia salina yang telah dipanen kemudian diberikan
pada post larva udang windu dengan menggunakan gelas ukur berkapasitas 1.000 ml
(1 liter) sesuai dengan dosis yang telah ditetapkan .
2) Pemberian
Pakan
Buatan
Agar
larva dapat berkembang dengan baik maka diberikan pula pakan buatan yang dapat
meransang perkembangan dalam pertumbuhan larva. Pakan buatan diberikan pada
larva dimulai pada zoea1 sampai panen. Namun yang harus diperhatikan adalah
pemberian pakan yang tidak boleh berlebihan karena dapat menurunkan kualitas
air yang bisa memicu timbulnya senyawa beracun didalam air. Sebaliknya jika
kekurangan akan menghambat pertumbuhan larva udang karena kekurangan pakan.
d. Pengelolaan
Kualitas
Air
Kualitas
air merupakan hal yang sangat penting dalam
perbenihan
udang windu, karena air merupakan media hidup larva dan sangat berpengaruh
terhadap tingkat kehidupan larva dan post larva. Pada umumnya salah satu faktor
terjadinya penurunan kualitas air disebabkan oleh sisa pakan dan kotoran udang
yang nengendap di dasar bak. Sehingga perlu dilakukan pengelolaan kualitas air.
Adapun
pengelolaan kualitas air yang penyusun lakukan di Hatchery CV. Saniri Jaya
Ujung Indah adalah:
1) Penambahan
Air
Penambahan
air dilakukan pada stadia mysis1. Penambahan air dilakukan antara 5-10 cm.
Penambahan air dilakukan karena tahap ini udang belum stabil untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang berubah drastis. Penambahan air juga dilakukan
ketika larva didalam bak pemeliharaan terlalu padat.
2) Pergantian
Air
Pergantian
air dilakukan dengan tujuan mengeluarkan air yang telah terakumulasi oleh sisa
pakan dan kotoran udang. Pada Hatchery CV. Saniri Jaya pergantian air dilakukan
pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WITA pada saat memasuki stadia post larva
PL4/PL5
Agar
larva tidak mengalami stress maka pergantian dilakukan secara bertahap dan
perlahan. Untuk mendapatkan air yang bersih masuk kedalam bak, air dialirkan
melewati saringan kapas. Pergantian air dilakukan antara 5 - 10 cm.
3) Pengendalian Penyakit
Penyakit
adalah salah satu kendala yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu
singkat.Pada umumnya penyakit menyerang larva melalui peralatan, manusia serta
air yang tidak dikelolah dengan baik. Oleh karena itu, untuk menghindari hal
tersebut perlu dilakukan pencegahan. Pencegahan yang dilakukan yaitu berupa
desinfeksi peralatan, persiapan bak yang baik, serta pengelolaan kualitas air
yang baik.
4) Panen
dan Pemasaran
Kegiatan panen adalah tahap akhir dari
kegiatan usaha pembenihan udang.
A. Masalah
Masalah yang dihadapi perusahaan
selama melakukan Praktik
Kerja Lapang (PKL) yaitu:
1.
Keterbatasan
air tawar akibat lokasi yang dekat dengan laut
2.
Larva
mengalami kematian akibat sifat kanibalisme
pada udang Windu karna pemberian pakan yang berkurang serta pemberianya yang
tidak tepat waktu
3.
Skeletonema costatum susah bloming akibat musim hujan.
B. Pemecahan
Pemecahan dari masalah yang dihadapi
perusahaan selama penyusun melakukan Praktik Kerja Lapaang (PKL) yaitu:
1.
Untuk
menanggulangi keterbatasan air tawar dilakukan dengan cara pembuatan
penampungan air tawar dan menampung air hujan
2.
Membagi-bagi
pakan yang seharusnya diberikan pada satu bak menjadi dua bak meskipun tidak
sesuai dengan dosis pemberian pakan serta pemberiannya yang tepat pada waktunya
3.
Menyesuaikan
pemberian pupuk dengan cuaca matahari dan membeli Skeletonema costatum pada hatchery lain.
A. Kesimpulan
1.
Induk
merupakan rantai awal dalam melaksanakan produksi suatu pembenihan udang Windu,
untuk itu penangananya harus benar-benar diperhatikan
2.
Kebersihan
peralatan sangat menunjang dalam keberhasilan suatu usaha pembenihan udang
Windu
3.
Penanganan
yang benar, hati-hati serta konsentrasi adalah kunci dari keberhasilan suatu
usaha
4.
Harus
mencoba metode yang lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
5.
Sebelum
melakukan kegiatan produksi perencanaan dan persiapan harus dilakukan serta
dana yang menunjang kegiatan produksi harus siap.
B. Saran
1.
Melakukan
koordinasi dengan para karyawan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan
2.
Pemberian
pakan dan pengontrolan harus tepat waktu dan dosis tepat
3.
Sebelum
terserang penyakit sebaiknya dilakukan pencegahan terlebih dahulu.
4.
Usaha
yang dilakukan sebaiknya dihentikan karna jika dilanjutkan akan menyebabkan
kerugian yang sangat besar.
DAFTAR
PUSTAKA
Fabricus,
2006 SNI 01-6143. Benihudangwindu (Penaeusmonodon fabriciu, 1798)kelasbenihsebar. Jakarta. 7 hal
Toro dansoegiarto, 1979.PembenihanUdangWinduSkalaRumahTanggaSuatu Alternatif Usaha Keluarga DiIndonesia,BalaiBudidaya
Air Payau (BBAP), Jepara. 14 hal
Courtland ,
1987. Petunjukteknikbagipengoprasian unit usahapembenihan udangwindu, DirektoratJendralPerikanan, 101
hal
Amri, 2003.BenihUdangWinduSkala
Kecil, Dalam Seri Penangkapan,Kanisius,
Yogyakarta. 60 hal
Soetomo,
M.J.A., 2000. TeknikBudidayaUdangWindu (Penaeus monodon).Kansius.Yogyakarta.78 hal.
Anonymous, 1998.PembenihanUdangWinduSkalaRumahTanggaSuatu Alternatif Usaha Keluarga DiIndonesia,BalaiBudidaya
Air Payau (BBAP), Jepara. 14 hal
Viyalezdalampoernomo, 2003.BenihUdangWinduSkala
Kecil, Dalam Seri Penangkapan,Kanisius,
Yogyakarta. 60 hal
Suyantodanmujiman , 1993. PembenihanUdangWinduSkalaRumah Tangga,Kanisius, Yogyakarta. 37
hal
Wyban et al ,
1991. PakanUdangWindu. (Penaeus Mondon).Kanisius. Yogyakarta. 85 hal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar